redaksiaklamasi.org - Oleh : Ferdi Lafiek (Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum UIN Alauddin Makassar dan Kader Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar Cabang Gowa Raya)
“Ini bukan hanya soal nenek moyang dan romantisme penjajahan
belanda..
Bukan cuma tentang orde lama, menahan lapar demi revolusi..
Bukan hanya penjara dan pengasingan orde baru..
Dan bukan hanya tentang reformasi yang boleh dikata naïf”.
Al-Quran
mengistilahkan orang-orang yang ditindas atau dilemahkan sebagai Mustadh’afin, yang secara bersamaan
dikenal sebagai golongan yang gigih dalam upaya penciptaan keselarasan hidup
bagi kaum dhu’afa. Dhu’afa adalah
mereka yang bukan hanya lemah dari segi materi, mereka juga terasing dari sisi
ilmu pengetahuan, kehidupan politik serta kehidupan sosial. Jelaslah antara mustadh’afin dan dhu’afa adalah
dua hal yang berbeda berdasarkan peranannya, disaat para dhu’afa tertindas dan
kebingungan disaat itu pula kaum mustadh’afin membuktikan peranannya sebagai
garda depan pembela bagi kaum dhu’afa, sekalipun pada dasarnya dalam Al-Quran
telah dijelaskan bahwa keduanya memiliki kesamaan, yakni sama dilemahkan dan
ditindas atau belakangan lebih akrab lagi bagi orang Indonesia “Di Kriminalisasi”.
Keberadaan
mustadh’afin sebagai pembela bagi dhu’afa dalam era sekarang ini memang telah
terjerembab kedalam ruang yang amat samar, yang kemudian memunculkan banyak
tanya tentang siapa sebenarnya yang termasuk serta dapat mengambil peranan sebagai golongan
mustadh’afin. Untuk mendefenisikan tentang suatu golongan tidaklah memakan
waktu yang sebentar, namun bagi mereka yang benar mencita-citakan suatu
keselarasan yang sesuai dengan misi ilahi “melindungi
dan menyelamatkan bangsa dari sistem yang menindas”, tidaklah sulit apabila
memposisikan diri berdasarkan keberadaan kaum Dhu’afa, yakni mereka yang
memiliki kemampuan lebih baik materi ataupun non-materi jika dibandingkan
dengan kaum Dhu’afa.
Membincang tentang
pembelaan terhadap kaum Dhu’afa, tidaklah lengkap tanpa sedikit menyentil
tentang medium-medium perjuangan yang lahir diluar dari pergerakan Islam, satu
diantaranya kita sebut saja keprihatinan Marx terhadap penderitaan kaum
proletar akibat revolusi industri yang kemudian teruarai secara emosional dalam
Das Kapital, tentang betapa menderitanya bangsa-bangsa akibat Kapitalisme.
Pembelaan tersebut dalam konteks yang mengemuka hampir sama dengan pembelaan
terhadap kaum Dhu’afa sebagaimana yang disunnah-kan Rasulullah SAW. Sehingga,
banyak orang yang meng-konotasikan orang-orang yang terlibat dalam pembelaan
terhadap kaum dhu’afa sama halnya dengan komunis. Padahal dalam konstalasi
dialektika orang-orang Islam sendiri telah sepakat bahwa ada beberapa bahkan
banyak hal dari ajaran komunisme yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pahaman
dasar inilah yang seyogyanya kita ramu kembali melalui podium dakwah islam yang
berorientasi pada upaya reaktualisasi nilai-nilai religiusitas yang nyata
menuju transformasi dan penciptaan tatanan sosial yang lebih baik, serta
sesegera mungkin memerangi proses dehumanisasi yang telah merasuk kedalam
keberlangsungan kehidupan dunia.
Agenda pengentasan
kemiskinan, baik materi maupun pemeleratan yang terjadi dalam ilmu pengetahuan,
politik dan sosial memang membuthkan energy yang banyak, sembari merawat spirit
perjuangan yang telah tertanam. Misal, tentang teologi pembebasan yang mesti
kita tengok kembali, atau dengan kata lain mesti kita sederhanakan agar
kemudian wacana-wacana yang lahir menjadi dekat dan nyata, pun juga tidak masuk
kedalam segmentasi yang ekslusif. Islam sebagai dasar perjuangan telah
menyediakan banyak panduan bagaimana merawat dan saling membesarkan demi
tercapainya kehidupan yang adil dan selaras.
Dengan beberapa
kerumitan dunia serta pandasaran sederhana tentang Islam sebagai rumah besar
perjuangan, muncul pertanyaan, sejauh mana peranan dan keterkaitan kaum
Mustadh’afin dalam uraian tersebut ???
Untuk kita yang
berkewarganegaraan Indonesia, dan fasih dalam mebacakan pancasila tentu
tidaklah asing dengan keruhnya berbangsa dan bernegara hari ini. Belum selesai
urusan perut dan anak putus sekolah, kita kemudian dipertontonkan drama politik
carut marut, sengketa hukum yang memuakkan, serta lebih dalam soal banyaknya
negara haus kekuasaan yang menjadikan Indonesia sebagai medan berperan, dan
kita umat Islam ada diantara kesemuanya.
Kita tahu pasti bahwa
Islam adalah Agama mayoritas penduduk Indonesia, juga kita sepakat bahwa Islam
adalah agama yang besar. Namun, kita belum tahu apakah kenyataan kebesaran
Islam beriringan dengan ajarannya atau hanya sekedar hitungan matematis.
Menjadikan Islam sebagai dasar perjuangan dalam menentang penindasan adalah
kesediaan untuk melakukan perjuangan berdasarkan kaidah yang telah diatur dalam
Islam dan bersumber dari Al-Quran. Salah satu kekuatan Islam adalah terbukanya
Islam sebagai suatu agama untuk interpretasi, reinterpretasi. Islam hadir dalam
visi yang universal dan temporal, sehingga dalam setiap babakan sejarah Islam
mamu tampil dalam wajah yang bermacam-macam. Disinilah peranan awal
mustadh’afin, yakni berupaya untuk menerjemahkan kepada kaum lain tentang
entitas islam yang dinamis, misalkan
merelevasikan nilai-nilai Islam yang universal dan temporal kedalam
siklus atau keberlangsungan kehidupan untuk sampai pada cita-cita negara tanpa
penindasan melalui podium-podium dakwah. Kaum mustadh’afin mesti bekerja keras
dan banyak menghabiskan waktu untuk berdiskusi dengan juru dakwah (Al-Dai), agar tercapai suatu wacana
yang mudah dipahami tentang hubungan heuristik antara kehidupan dunia dan
akhirat, materi dan non-materi, serta ide-ide visioner umat islam lainnya.
Hingga pada akhirnya, membicarakan pengentasan kemiskinan dan menenenang
penindasan oleh sistem negara dalam bentuk lainnya menjadi ringan terorganisisr
dari masjid ke masjid sebagai cerminan tempat yang teduh, yakni persamaan tanpa
kelas.
Semangat yang berasal
dari masjid mewakili rasa soliditas serta menanggalkan keyakinan yang dalam
karena telah melalui proses yang panjang, mulai dari relevansi agama dengan
budaya tradisional yang tercapai melalui diskusi, pertukaran informasi serta
ceramah-ceramah. Menjadikan Islam bukan sekedar Individu yang diperhadapkan
pada surga dan neraka, tetapi juga
bagaimana gerakan shalat mengejawantahkan gerakan revolusioner.
Dan secara bersamaan melalui proses-proses dakwah telah terbangun medium perlawanan umat Islam. Dari dalam dan luar masjid, dri tempat ke tempat, dari kelas ke kelas, dari setiap warung kopi kita dapati umat Islam saling meneguhkan.
Semoga kita dan
semoga seluruhnya, tidak menempatkan agama sekedar ritus dan upacara-upacara,
sebagaimana metafora Rasulullah SAW “Masjid-masjid mereka ramai, tetapi kosong
dari petunjuk”.
Editor: Andi Haerur Rijal
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar