(Foto: Syamsuddin Radjab. Dok. Path)


redaksiaklamasi.org - Oleh: Syamsuddin Radjab (Direktur Jenggala Center dan Dosen Ilmu Hukum UIN Alauddin Makassar)

Siang tadi (10/2), seperti biasa saya menunaikan sholat jumat di Masjid At-Taqwa, masjid dekat rumah dibilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Penceramah mengurai kondisi kekinian umat Islam terkait dengan isu makar, rekayasa hukum dan pentingnya berpegang teguh pada al-Quran dan al-hadits serta sedikit mengulas sejarah Nabi Besar Muhammad SAW terkait fitnah dan intimidasi yang dilakukan para pembesar suku Quraisy dan penguasa Makkah ketika itu.

Saya hampir saja interupsi khotibnya, “hati-hati ustads, jangan singgung isu makar dan rekayasa hukum, nanti dikriminalisasi juga”, kira-kira itu yang akan saya sampaikan ke penceramah, sambil saya membatin. Untung saya sadar bahwa ini khotbah jumat, dimana posisi jamaah hanya berhak mendengar sementara sang ustats bebas memberi ceramahnya tanpa interupsi jika tak sependapat atau mau memberi perspektif lain. Saya jadi ingat, guru saya, Professor Qasim Mathar yang menginterupsi penceramah jumat karena apa yang disampaikannya tidak sesuai dengan pemikiran dan fakta menurut sang guru.


Kalau khotbah jumat bisa memberi perspektif berbeda dengan penceramah atau interupsi, bukan khotbah jumat lagi tapi diskusi jumat. Pertanyaan genitnya adalah, apakah khotbah jumat (satu arah) sebagai bagian dari shalat jumat bisa diubah menjadi dua arah menjadi dialog jumat sehingga jamaah dan penceramah benar-benar mendiskusikan kondisi kekinian maupun kandungan al-Quran dan al-hadis dan setelahnya dilanjutkan shalat jumat bersama seperti biasa?

Jika merujuk pada nash Al-Quran, Shalat jumat merupakan kewajiban bagi orang-orang beriman (ber-KTP Islam belum tentu merasa kewajiban). Dalam surah Al-Jum’ah (62): 9, Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.

Hebatnya lagi, Shalat jumat dalam al-Quran diatur dalam surah khusus dan tersendiri, yaitu surah al-Jum’ah. Bahkan kewajiban shalat lima waktu bagi umat Islam hanya tersebar di 17 surah dalam al-Quran yaitu: Qs. Al-Baqarah (2): 43,83,110; Qs. Annisa’ (4): 77,103; Qs. Al-An’am (6): 72; Qs. Yunus (10): 87; Qs. Hud (11): 114; Qs. Ibrahim (14): 31; Qs. Al-Isra’ (17): 78; Qs. Thaha (20): 14; Qs. Al-Haj (22): 78; Qs. An-Nur (24): 56; Qs. Al-Ankabut (29): 45; QS. Ar-Rum (30): 31; QS. Luqman (31): 17; Qs. Al-Ahzab (33): 33 dan Qs. Al-Mujahidah (58): 13. 

Ada lagi satu shalat istimewa yang diperintahkan dalam al-Quran yaitu shalat Tahajud sebagai ibadah tambahan (bukan wajib) tapi dinukilkan dalam Al-Qur’an yang terdapat dalam Qs. Al-Isra’ (17): 79.
 
Perintah shalat wajib kepada umat Islam diterima Nabi Muhammad SAW ketika peristiwa Isra’ Mi’raj. Suatu perjalanan spiritual dari Kota Makkah ke Palestina (Isra’) dan dari Masjid al-Aqsha (Palestina) ke Sidratul Muntaha (Mi’raj)- (620-621M). 

Di fase Mi’raj itulah Nabi menerima perintah kewajiban shalat bagi umatnya, tetapi fase ini tidak dikisahkan dalam al_Quran, tetapi bisa ditemukan dari hadis-hadis yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang bersumber dari Anas Bin Malik (602-709), seorang sahabat Nabi yang ikut sejak usia mudah, paling banyak meriwayatkan hadis Nabi selain dari Abu Hurairah dan Abdullah Bin Umar. 

Kembali ke soal khotbah jumat, khotbah jumat dinilai 2 rakaat dan dilanjutkan shalat jumat 2 rakaat yang dianggap sama dengan shalat Dzuhur 4 rakaat dihari lain. Ini salah satu pendangan ulama, pandangan lainnya menyatakan bahwa “apabila datang waktu siang hari jumat maka shalatlah dua rakaat” (hadis dari Ibnu Abbas). Di riwayat lain, dari Imam Ahmad Bin Hambal disebutkan bahwa Umar ibn Khattab mengatakan: “Shalat jumat adalah dua rakaat sesuai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan itu sudah sempurna, bukan merupakan shalat dzuhur yang di qashar”.
 
Terlepas dari perbedaan pandangan para ulama dan fuqaha, shalat Jumat dimana-mana hanya dua rakaat dan khotbah Jumat merupakan rangkaian tata cara dan merupakan rukun shalat Jumat (Lihat dalam, Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz I. hlm. 116). Jadi, shalat jumat harus pada hari jumat bukan hari lain, dan jumlah rakaatnya hanya dua rakaat, tidak boleh ditambah atau dikurangi. 

Yang penting menurut saya, materi khotbah jumat jangan melulu soal syurga dan neraka atau iman dan kafir saja, tetapi juga memberi pencerahan, pemahaman dan pengetahuan agar jamaah menjadi sadar, tahu dan melaksanakannya. Al-Quran dan Al-Hadis kandungannya sangat komprehensif, ia memuat ajaran ketuhanan, kehidupan sesudah kematian, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, sejarah, antropologi, kosmologi, geologi, pemerintahan, Negara, perdamaian dan bahkan peperangan.

Kata “Khotbah” berasal dari bahasa Arab, “khathaba, yakhthubu, khuthbatan” yang berarti menyeru, memberi nasihat, menyampaikan pidato, orasi yang mengandung nasehat. Berakar dari huruf Kha’, Tha dan Ba. Bisa berubah dengan kata “Khitbah” yang berarti melamar wanita yang akan dinikahi, “Mukhatabah” yang berarti pembicaraan, atau “Al-Khatbu” yang berarti perkara besar yang diperbincangkan. Dalam ilmu Nahwu-Shoraf, satu akar kata bisa bergeser menjadi 42 arti dan maknanya sesuai dengan keadaan waktu (fi’il madhi dan fi’il mudhari’) dan kata ganti (Dhomir).

Jadi, khotbah jumat yang menyampaikan kondisi bangsa kekinian, baik persoalan makar, kriminalisasi ulama, politisasi hukum, kesemrautan politik, penyadapan illegal, grasi narapidana, korupsi, pelanggaran HAM berat yang tak kunjung selesai dan lain-lain masalah politik, pemerintahan dan kenegaraan merupakan suatu yang wajar dan perlu sebagai refleksi rasa umat Islam melalui penceramah atau khotib yang disampaikan dimasjid-masjid.
Bagi penguasa tiran, tentu ini dapat dianggap sebagai ancaman, menyebar kebencian, SARA, dan tuduhan anti kebhinekaan dan intoleransi. Khotbah yang dianggap berbahaya karena mengkritisi penguasa atas segala kebijakan dan tindakannya kemudian memunculkan pikiran perlunya sertifikasi ulama. 

Lahirnya pemikiran sertifikasi ulama tidak bisa dilepaskan dari kondisi kekinian dimana penegakan hukum tidak adil, pemihakan politik penguasa dalam kontestasi pilkada, diskriminasi lalu disuarakan melalui mimbar-mimbar jumat untuk menyadarkan umat dan muncullah kriminalisasi ulama, pendataan ulama, pembatasan materi khotbah, dan upaya lain membungkam suara umat dengan menakut-nakuti melalui aparat penegak hukum.
Negara, melalui menteri Agama (26/1), mewacanakan sertifikasi khotib jumat dan ulama yang kemudian menjadi polemik nasional. Polri menindaklanjuti dengan pendataan ulama di Jawa Timur melalui Surat Nomor ST/209/I/2017/RO SDM tertanggal 30/1/2017 dengan dalih memudahkan komunikasi, kenalan dan kunjungan kerja.

Dalih Kapolda Jawa Timur, Irjen Pol, Machfud Arifin diatas, menurut saya tidak rasional dan mengada-ada, sebab ulama dan kyai bukan jabatan yang bisa diganti-ganti setiap saat seperti jabatan kapolda. Ulama dan kyai adalah predikat yang diberikan oleh umat dan masyarakat karena pengetahuan keagamaannya yang dalam dan luas, membimbing umat dan menjadi teladan ditengah masyarakat.

Pendataan ulama di Jawa Timur sangat dikeluhkan oleh KH. Mohammad Irfan Yusuf (Gus Irfan) bahkan mengatakan seperti mirip kerja ala PKI dimasa lampau dan bergaya khas Orde Baru. beberapa Negara komunis memang menerapkan pendataan ulama seperti China dibagian Xianjiang, Ningxia, Gansu dan Qinghai yang dihuni umat Islam dari kalangan suku Aighur dan Hui. Demikian pula di negara Uni Soviet era komunis dan Negara-negara satelitnya.

Khotib jumat memang harus terus dibenahi secara kualitatif dan kuantitaf melalui pelatihan dan diskusi berkesinambungan. Ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, Persis, Al-Washliyah, Al-khaeraat, Al-Irsyad, DDI, DDII, DMI, IMMIM dan lain-lain memiliki peran penting dan strategis dalam pembinaan umat dimasa mendatang. Kualitas khotib akan mempengaruhi kualitas umat, dan peningkatan jumlah khotib harus terus diupayakan agar bisa melayani seluruh umat Islam dari kota hingga ke pelosok. 

Kekritisan umat Islam melalui ceramah para ulama, kyai dan khatib di mimbar jumatan masjid rupanya menimbulkan kepanikan penguasa. Kuatir munculnya kesadaran kolektif umat yang dapat mengancam status-quo kekuasaan sehingga kementerian Agama pun menjadi tidak rasional, demikian juga kepolisian sebagai alat Negara tidak lagi menjadi polisi Negara tetapi berubah menjadi polisi penguasa.

Apa yang ditunjukkan sekarang dengan mewacanakan sertifikasi ulama dan pendataan para penceramah merupakan sikap paranoia kekuasaan atas munculnya kesadaran umat Islam mengkritisi penyelenggaraan pemerintahan yang dianggap menyimpang dan mengesampingkan suara mayoritas. 

Aksi umat Islam dalam 212 telah membuka mata para penguasa, betapa besar kekuatan umat Islam jika dikonsolidir secara kuat dan terancana. Kekuatan itu harus diarahkan secara positif; mengkritisi penegakan hukum yang tebang pilih, memberantas korupsi, mewujudkan keadilan ekonomi dan pemerataan pembangunan serta mengontrol pemerintahan agar tetap dalam rel konstitusi yang melindungi kepentingan nasional dan warga Negara, bukan menjadi kacung bangsa asing.

Jakarta, 10 Februari 2017.

Editor: Andi Haerur Rijal


0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top