redaksiaklamasi.org - “Aaaaaa... pus.. dusdus... plak plak... keras bertubi-tubi pukulan dan tendangan yang menghujam seorang pencuri yang tertangkap tangan melancarkan aksinya...”

Sudah menjadi hal yang biasa mendengar seorang pencuri atau mereka pelaku kriminal yang tertangkap oleh warga dihakimi langsung oleh masyarakat. Bahkan dari mereka banyak sekali yang antusias dan penuh ambisi untuk ambil bagian menghakimi pelaku kriminal tersebut. Dalam hal ini aku menghasilkan kerumitan tersendiri dari peristiwa oral yang kulakukan bersama idea. 

“Apakah yang dilakukan masyarakat ini demi menegakkan hukum? Tapi kenapa ia menegakkan hukum dengan cara yang melanggar hukum?” 

Dalam hal ini aku hanya mampu beranggapan bahwa yang melatar belakangi hal tersebut adalah kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang ada dan bisa juga hukum yang digunakan tidak sesuai dengan kultur yang berkembang dimasyarakat. Bukankah fungsi hukum sendiri salah satunya adalah sebagai alat untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan di masyarakat. Dengan adanya hukum maka masyarakat menjadi dipaksa dan tidak diberikan pilihan lain selain untuk menaatinya. Namun hal demikian telah jauh dari realita yang ada. Seharusnya institusi penegak hukum ini memastikan bahwa penegakan hukum yang mereka lakukan telah secara efektif dapat menciptakan ketertiban, keteraturan serta keadilan di masyarakat. Jangan hanya karena masyarakat tak percaya pada hukum, lalu para penegak hukum membiarkan masyarakat menjalankan hukumnya sendiri-sendiri. Jangan pula hanya karena seseorang adalah maling, maka ia tak berhak mendapatkan kepastian hukum dan hak-haknya bebas untuk dilanggar.

Walaupun dalam hal ini untuk masalah hukum yang tak dipatuhi masyarakat itu sendiri, disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum. Tapi kali ini warga pengeroyok-lah yang berposisi sebagai subjek pelanggar. Mungkin warga bisa berdalih bahwa melakukan tindakan aktif untuk mempertahankan diri dan harta benda mereka sah menurut aturan hukum. 

Hal ini memang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai hukum bela paksa yang berbunyi: “Barang siapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari serangan yang melawan hukum dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum”.
 
Selain itu ada juga Pasal 49 ayat (2) mengenai bela paksa lampau batas yang berbunyi: “Melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbuatan itu sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan terguncang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum”.
 
Berdasarkan kedua pasal tersebut, maka orang yang terpaksa melawan bahkan melukai orang lain karena alasan-alasan bela paksa tersebut akan terbebas dari hukuman. 

Namun dalam pengadilan jalanan ini tidak termasuk dalam bela paksa, karena ketika si pencuri telah tertangkap oleh warga kemudian harta curian maupun senjata yang dimiliki oleh sipencuri telah diamankan maka tidak ada lagi yang memiliki hak untuk mendapatkan bela paksa. Jusrtu si pengroyok lah yang mampu dikenakan hukuman pasal 351 tentang penganiayaan dan juga pasal 170 tentang tindak kekerasan dalam KUHP. Tapi entah kenapa tuntutan kepada si pengroyok tak pernah kita dengar. Ada kemungkinan si pencuri tak tahu hal tersebut dan bisa juga si pencuri juga tak percaya dengan para penegak hukum di negeri ini. 

Penulis: Roofi Jabbar (Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum UIN Alauddin Makassar dan Sekertaris Umum HMI Komisariat Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar Cabang Gowa Raya Periode 2016-2017)

Editor: Fahrul Fahreza



0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top