redaksiaklamasi.org - Sebuah perjalanan yang panjang bagi manusia untuk memproyeksikan perkembangan-perkembangan kehidupan. Hingga dimuat dalam berbagai literasi tentang sejarah- sejarah kehidupan manusia. Walau dalam analisisnya antara Agama dan sains memiliki perbedaan. Namun disatu sisi, secara universal alam telah menempatkan manusia dibawah pemerintahan dua tuan yang berdaulat yaitu rasa sakit dan kesenangan. Hanya kepada merekalah kita menujukan apa yang akan kita lakukan.
“Sebuah tindakan dianggap benar dalam
proporsinya karena cenderung meningkatkan kebahagiaan, dan dianggap salah
karena menghasilkan kebalikan dari kebahagiaan.”
Pernyataan
tersebut, dijadikan sebagai barometer bagi kebanyakan orang. Hingga yang
menjadi realitasnya adalah ego cenderung berada pada titik puncak. Memilih
bahagia diatas derita orang lain sebagai bukti bahwa keberhakan ego. Hal ini
tidak dapat dilepaskan walau pada prinsipnya kita selalu menunjukkan
sikap-sikap yang menutupi perilaku bahagia diatas derita. Karena teori
toleransi hanya sekedar teori belaka seperti “saya tidak setuju dengan apa yang anda katakan tetapi saya akan
membela sampai mati hak anda untuk mengatakannya”. Walau pada hakikatnya
keberagaman manusia membuat toleransi lebih dari sekedar kebajikan, hal itulah
yang membuat toleransi menjadi sebuah persyaratan hidup untuk satu sama lain.
Walau
hal tersebut telah kita ketahui secara fitrah. Kerana sesungguhnya tidak ada
seorangpun yang mampu memungkiri perbuatan yang telah ia lakukan adalah benar
atau salah. Tapi tetap saja kita melakukan perbuatan tersebut.
Harapan
menciptakan tatanan kehidupan yang ideal tak pernah terhenti. Sejak manusia
pertama bagi ummat beragama juga sejak munculnya teori evolusi dari sains
dimana manusia masih hidup dalam keterbatasannya. Kita selalu mendambakan
kehidupan ideal tersebut. Yang menjadi masalah adalah bentuk ideal yang seperti
apa yang mampu menngakomodir semua karakteristik manusia?
Seorang
negarawan Inggris Sir Thomas More,
diawal karyanya yang berjudul “Utopia”,
yang ditulis dalam bahasa latin dan dipublikasikan pada 1561, More memasukkan
satu ayat pembukaan yang singkat yang menjelaskan bahwa tatanan kehidupan ideal
yang dia gambarkan, yang disebut Utopia (tidak ada tempat), mungkin juga
menjamin nama Eutopia (tempat yang baik). Dimana pulau imajiner More adalah
suatu surga yang humanis, suatu masyarakat proto-komunis dimana segala sesuatu
yang dilaksanakan secara bersama-sama dan laki-laki juga perempuan hidup
bersama secara harmonis dan sederajat. Intoleransi agama telah dibuang dan
pendidikan disediakan oleh negara. Dan emas tidak lagi bernilai dan digunakan
hanya untuk membuat pot-pot ruangan.
Dan
kini kebanyakan filsuf juga menawarkan gagasan-gagasannya melalui roman utopis
seperti yang dilakukan oleh Thomas More.
Hingga menimbulkan konklusi yang sifatnya sementara yaitu kehidupan yang saya
inginkan juga anda inginkan ataukah kita inginkan hanya berada pada tataran ide
saja.
Banyak
dari kita yang mencoba menjelaskan tentang gagasan-gagasan kehidupan. Dan lebih
banyak lagi yang mencoba mengaburkan gagasan-gagasan itu. Seperti apa yang
terdapat pada perselisihan kaum realisme dan kaum pasifisme. Dimana kaum realis
skeptis lebih mementingkan seluruh proyek penerapan konsep-konsep etis untuk
perang karena bagi mereka, pengaruh internasional, keamanan nasional dan
kepentingan pribadi merupakan keprihatinan utama. Sebaliknya, kaum pasifis
dengan telaten yakin bahwa moralitas harus memegang kekuasaan dalam urusan-urusan
internasional karena dalam pandangan kaum pasifis menganggap aksi militer tidak
pernah menjadi solusi yang tepat.
Homo homini lupus (manusia adalah
serigala bagi manusia lainnya) ungkapan Plautus pada 945 Masehi silam. Dan yang
terjadi memang sama seperti yang diungkapakan Plautus, suara yang paling gigih
mengaung melalui sejarah manusia adalah tabuhan genderang perang. Baik perang
suku, perang agama, perang sipil, perang dinasti, perang nasional, perang
revolusi, perang kolonial, perang penaklukan dan pembebasan, Serta perang untuk mencegah dan mengakhiri
sebuah perang. Berbagai perang ini mengikuti satu sama lain dalam
rantai pengulangan yang kompulsif sejauh manusia dapat mengingat masa lalunya.
Dan ada banyak alasan untuk yakin bahwa rantai itu akan semakin panjang dimasa
mendatang.
Dalam
refleksi peradaban seperti ini, kita seakan ingin mencari surga dalam ketakutan-ketakutan yang ada difikiran, hingga yang terlihat hanyalah kebodohan semata.
Namun satu hal yang bisa dijadikan sebagai pembelajaran adalah tanpa utopia-utopia dari periode-periode yang lalu, manusia akan tetap tinggal didalam gua-gua, miskin dan telanjang. Dari mimpi-mimpi yang sangat banyak mucul
realitas-realitas yang menguntungkan. Dan bisa dikatakan Utopia adalah
prinsip dari segala kemajuan juga upaya menuju masa depan yang lebih baik.
“E Pluribus Unum (dari banyak menjadi satu)”
Penulis: Roofi Jabbar (Mahasiswa Ilmu
Hukum UIN Alauddin Makassar dan Sekertaris Umum HMI Komisariat Syariah dan
Hukum UIN Alauddin Makassar Cabang Gowa Raya)
Editor: Fahrul Fahreza
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar