(Foto: Roofi Jabbar. Dok. Int) |
redaksiaklamasi.org – “Ibarat orang yang
sedang berlari tanpa henti, walau nafas sudah mulai terdengar suaranya, ikut
membantu bibir yang sengaja dimajukan agar udara tetap cukup masuk kedalam
tubuh. Demi sebuah kepuasan yang tak selamanya bisa digenggam itulah kekuasaan”.
Dok. Int |
Manusia
selalu punya cara untuk mewujudkan segala keinginannya. Potensi ini ada dalam
tiap diri seseorang. Hanya terkadang melupakan atau sengaja melupakan
dasar-dasar prinsip kebaikan yang ada. Mengapa demikian? Tentunya karena
besarnya hasrat untuk menguasai sesuatu. Hingga akhirnya ia memposisikan
kebaikan pada kesamarannya.
Sebuah
pertanyaan yang besar bagi manusia yang berpikir, tentang posisi khusus yang
diberikan kepada manusia oleh Tuhan seperti amanat yang diterima manusia
tapi ditolak oleh langit dan bumi juga gunung-gunung (QS 33:72). Peristiwa ini merupakan tanda kekhasan sebuah nafsu,
yang menuntut kepuasan. Dan nafsu itu ada pada manusia yang masing masing akan
dimintai pertanggung jawabannya.
Dalam
rentetan sejarahnya, begitu banyak peristiwa mengenai seseorang yang haus
dengan kekuasaan. Melakukan apa saja untuk memenuhi hasratnya menguasai barang,
seseorang juga wilayah. Masuk keberbagai kelompok dan gerbong untuk mengambil
perhatian. Tampil ibarat orang yang menawarkan seribu satu keabaikan, rela
berkorban padahal sudah pasti itu hanya topeng belaka. Bukan berarti dengan
anggapan seperti itu kita terhenti untuk mencari apa saja yang kita mau. Segala
sesuatu yang ada adalah pengetahuan dan berkembang menjadi ilmu dengan muatan
yang murni. Tak ada hal yang berada dimuka bumi ini tak memiliki arti, hanya
saja sifat dasar seseoranglah yang mengubah muatan ilmu itu menjadi jahat
ataupun baik.
Sejalan
dengan itu, ajaran-ajaran mengenai strategi bagaimana menguasai sesuatu telah
banyak diungkapkan. Bahkan lewat prinsip kedaerahan mengenai kehidupan
raja-raja terdahulu. Untuk memperlebar wilayah kekuasaan misalnya dalam sejarah
peradaban kerajaan Gowa, dikenal dengan “tallu
cappa” (tiga ujung). Dimana ujung yang pertama adalah ujung lidah dengan
maksud menaklukkan lawan dengan berbagai rangkaian retorika untuk mempengaruhi.
Jika tidak berhasil dengan itu, maka digunakanlah ujung yang kedua yaitu ujung
kemaluan maksudnya adalah dengan meminang anak atau keluarga lawan untuk
mendapatkan kekuasaan yang lebih kompleks. Dan jika hal ini juga tak berhasil,
maka yang terakhir adalah digunakanlah ujung yang ketiga yaitu “ujung badi” (senjata tradisional
Kerajaan Gowa) dengan maksud dan tujuan mengambil kekuasaan lawan secara paksa
dengan membinasakannya.
Pada
saat ini telah banyak yang melakukan hal-hal semacam itu untuk memperbesar
pengaruhnya dalam dunia politik saat ini. Saling menjatuhkan, tak pandang bulu.
Bahkan sampai prinsip yang menjadi dasar dalam perpolitikan saat ini adalah
siaga pada siapa saja. Karena sahabat adalah lawan yang belum menyerang. Ini
mengingatkan saya pada ungkapan Plautus “homo
homini lupus” yaitu manusia adalah serigala
untuk manusia lainnya. Jadi terang saja bahwa konsep peradaban memang
berputar. Kita kembali jauh ke pola kehidupan orang terdahulu. Apakah ini
sebuah bentuk kemajuan peradaban ataukah kemunduran dari sebuah peradaban?
Menggambarkan
keAkuan yang ada pada tiap diri manusia sebenarnya bagaimana kita memahami diri
atau jiwa mempunyai sedikit kesamaan terhadap ruh sebagai suatu nafas Tuhan.
Masing-masing memiliki posisi yang berada pada ketidaksempurnaan yang berasal
dari kecenderungan alamiah manusia terhadap kelupaan (ghaflah), yang secara
mistis diwakili oleh sisi negatif dari kejatuhan Adam. Sesuai dengan mereka
yang butuh wahyu atau penyadaran akibat besarnya hasrat dan nafsu untuk
memiliki kekuasaan. Karena begitulah sifat wahyu, sebagai petunjuk.
Kekuasaan
terkadang menjadi tujuan kebanyakan orang untuk dijadikan sebagai alat
memberikan zona nyaman. Sehingga upaya yang keras bersedia ia lakukan, untuk
melukai orang terdekatnyapun dilakukan tanpa berpikir panjang demi tercapai
tujuan tersebut.
Sebenarnya
pegangan dasar hakikat manusia terhadap kekuasaan adalah kesyukuran memiliki
apa yang telah ada. Mengharap lebih bisa saja, asal tidak melupakan sifat
keTuhanan yang ada pada diri kita. Hasrat dan nafsu yang terlalu besar membuat
kita begitu bersemangat menjalani skema hidup seperti itu hingga lupa diri.
Dengan melupakan dari mana asal kita dan untuk siapa kita hidup. Karena
kebahagiaan itu hanya berangkat dari hal yang sedernaha.
Penulis: Roofi Jabbar (Sekertaris Umum HMI Komisariat Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar Cabang Gowa Raya Periode 2016-2017 dan Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum UIN Alauddin Makassar)
Editor: Andi Haerur Rijal
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus