Sunarto Prawirosujanto dan Presiden Soeharto.
Foto: repro buku "Rintisan Pembangunan Farmasi Indonesia". |
redaksiaklamasi.org – Dilansir Historia.id, K.H. Wahab
Chasbullah, pendiri Nahdlatul Ulama, dianggap sebagai penggagas halalbihalal
pada 1948.
Istilah itu diajukan Wahab kepada Presiden Sukarno karena elite
politik tidak bersatu dan selalu saling menyalahkan. Ternyata, istilah
halalbihalal telah ada sejak zaman kolonial Belanda. Sunarto Prawirosujanto
(lahir di Solo tahun 1927) yang kelak menjadi dirjen Pengawasan Obat dan
Makanan Kementerian Kesehatan, menceritakan asal usul lahirnya istilah
halalbihalal.
“Acaranya terkait
dengan agama Islam dan bunyinya bernapaskan bahasa Arab, tapi baik acara maupun
kata-katanya tidak terdapat di negeri Arab. Arti kata halalbihalal sudah
dibakukan (KBBI:
hal maaf-memaafkan setelah puasa Ramadan), akan tetapi rasanya sudah puluhan
tahun belum dapat ditemukan asal mula perkataan itu,” kata Sunarto dalam
biografinya, Rintisan
Pembangunan Farmasi Indonesia.
Sunarto mengingat
bahwa perkataan halalbihalal sudah ada sejak sekitar tahun 1935-1936. Ketika
itu, dia belum berusia sepuluh tahun dan suka main ke Taman Sriwedari yang terletak
di tengah-tengah kota Solo. Taman ini dibangun oleh Pakubuwono X pada 17 Juli
1901 dan menjadi tempat rekreasi. Di taman itu ada pulau di tengah-tengah danau
buatan serta kebun binatang.
Di Taman Sriwedari
terdapat pedagang martabak seorang India. Kalau di jalanan harga martabak hanya
7 sen per potong, tapi pada Maleman, acara keramaian di malam bulan puasa,
harganya dinaikkan menjadi 9 atau 10 sen. Khusus pada hari Lebaran, dia
berjualan di luar taman di depan pintu keluar penonton. Dia dibantu oleh
seorang pribumi yang disuruh mendorong gerobak dan mengurusi api penggorangen.
“Untuk menarik
perhatian pembantu itu berteriak ‘martabak Malabar, halal bin halal, halal bin
halal’ terus-menerus sehingga setiap penonton yang melalui gerbang itu pasti
mendengarnya. Tidak ayal lagi anak-anak dan anak-muda sepulangnya dari
Sriwedari ikut berteriak ‘martabak, martabak, halalbehalal di sepenjang jalan
menirukan penjual martabak itu,” kata Sunarto. Waktu itu, kemungkinan martabak
adalah makanan baru dan untuk menarik pembeli Muslim disebutlah bahwa martabak
adalah halal.
Perkataan
halalbehalal atau alalbalal menjadi populer di kalangan masyarakat Solo. Pergi
ke Sriwedari di hari Lebaran disebut berhalalbalal; pergi keluar berpakaian
rapi di hari Lebaran disebut berhalalbalal; dan pergi silaturahmi pada hari
Lebaran, biasanya berpakain rapi, disebut berhalalbalal. Semula acara
halalbihalal hanya berupa selamat datang dari pihak penyelenggara, disusul
pertunjukan dan makan bersama.
“Kemudian saya pernah mendengar anjuran Bapak Mulyadi Joyomartono agar pertemuan menjadi bermakna, sebelum acara pertunjukkan hendaknya didahului oleh ceramah keagamaan Islam,” kata Sunarto. “Saya masih ingat salah satu pidatonya di muka corong SRI (Siaran Radio Indonesia), yang mencontohkan kebesaran Tuhan kepada umat manusia pada kafilah yang kelaparan di tengah padang pasir. Tiba-tiba burung-burung berjatuhan dari langit, sudah dalam keadaan digoreng, kata beliau, disusul dengan jatuhnya hujan, sehingga kafilah itu terhindar dari kematian.”
Menurut Sunarto,
istilah halalbihalal kemudian masuk dalam kamus Jawa-Belanda karya Dr. Th.
Pigeaud yang terbit tahun 1938. Persiapan penyusunan kamus itu dilakukan di
Surakarta pada 1926 atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1925.
Pada huruf A dapat
ditemukan kata “alal behalal”: “de
complimenten (gaan, komen) maken (vergiffenis voor fouten vragen aan ouderen of
meerderen na de Vasten (Lebaran, Javaans Nieuwjaar) vgb. Artinya
“dengan salam (datang, pergi) untuk (memohon maaf atas kesalahan kepada orang
lebih tua atau orang lainnya setelah puasa (Lebaran, Taun Baru Jawa).”
Baca Juga
- Menolak Tunduk: Cerita Perlawanan dari Enam Kota
- Menteri Hukum dan HAM Mengaku Tak Terima Uang Krupsi E-KTP
- Adnan Janji Beri Sanksi Pegawai yang Bolos di Hari Pertama Kerja
Selain itu pada
urutan huruf H terdapat kata "halal behalal": “de complimenten (gaan, komen) maken
(wederzijds vergiffenis vragen bij Lebaran, vgb). Artinya kurang
lebih “dengan salam (datang, pergi) untuk (saling memaafkan di waktu Lebaran).”
Menurut Sunarto,
alfabet huruf Jawa adalah ha na
ca ra ka. Meskipun ditulis dengan huruf ha selalu diucapkan sebagai huruf a (Latin), kecuali untuk
perkataan asing. Jadi, mengapa ada dua versi: alalbalal dan halalbalal? Hal itu
dikarenakan adanya dua pandangan. Apabila dianggap sebagai bahasa Jawa,
penulisannya dalam huruf Latin adalah alalbalal, tapi kalau dianggap sebagai
bahasa asing, maka harus ditulis halalbalal atau halalbehalal.
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar