redaksiaklamasi.org – Dalam Laman Akun Facebook Made Supriatma

Azam Asman Natawijana: Orang ini adalah anggota DPR-RI. Dia berasal dari Partai Demokrat dan mewakili Dapil Jawa Timur III. Dia kelahiran Banyuwangi pada 21 April 1948. Tahun ini dia akan berusia 69 tahun.

Menurut wikidpr.org, dia sudah dua kali menjadi anggota DPR-RI sejak 2009. Pada periode pertama dia terpilih dengan 48,493 suara dan pada periode II hanya dengan 21,060 suara saja. Dia selaluberada Komisi VI yang membidangi Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan BUMN. Saat ini dia adalah wakil ketua Komisi VI.

Pada awalnya, Azam Asman adalah pegawai negeri sipil. Sebagian besar karir PNSnya dijalankan di bawah Orde Baru. Dia bekerja pada PT Semen Baturaja (1979-2003).

Tentu tidak salah menyebut dia antek setia Orde Baru. Kiprah politiknya dimulai sejak 1979 sebagai anggota Golkar. Ini adalah saat dia mulai karirnya sebagai PNS di Semen Baturaja. Dia menjadi kader Golkar hingga 1999, setahun sesudah Soeharto jatuh.

Dia masuk Partai Demokrat -- yang dalam banyak hal tidak berbeda dengan Golkar -- pada 2003, persis saat partai ini didirikan. Tidak perlu waktu terlalu lama untuk dirinya menjadi anggota DPR-RI. Itu terjadi tahun 2009 persis saat Yudhoyono terpilih kembali menjadi presiden.

Sebagai anggota DPR, prestasinya biasa-biasa saja. Wikidpr memberikan catatan yang menarik. "Dalam 5 tahun berada di DPR, Azam tidak mengalami konflik internal dengan jajaran pimpinan fraksi Demokrat karena Azam selalu mematuhi instruksi fraksi/partai", demikian tulis Wikidpr.

Tidak terlalu sulit untuk memahami ini. Pendidikan politiknya pada jaman Orde Baru menuntutnya untuk setia. Setia hingga ke bulu-bulunya.

Namun juga dicatat bahwa dia berjuang gigih ketika Semen Baturaja melakukan penjualan saham ke publik (IPO - initial public offering). Dia juga berada pada komisi 'basah.' Semua orang tahu, BUMN adalah salah satu tambang duit untuk politisi.

Namanya sempat tercatat sebagai terdakwa dalam kasus korupsi saat memimpin proyek Optimalisasi II pabrik Semen Baturaja, tempat dimana dia dulu bekerja. Bersama Marzuki Alie (yang saat itru menjabat sebagai Dirut PT Semen Baturaja) dan seseorang bernama Darusman (Direktur Teknik) dia diduga merugikan negara sebesar Rp 600 miliyar.

Kasus korupsi ini kandas di tingkat Mahkamah Agung. Ketika itu, Marzuki Alie dan Azam Asman sudah menjadi anggota DPR-RI dari Partai Demokrat. Bahkan Marzuki Alie dipasang menjadi Ketua DPR-RI.

Azam Asman agaknya merasa sangat dekat dengan semen. Inilah yang rupanya yang membuat dia berkomentar terhadap aksi-aksi para petani Kendeng melawan PT Semen Indonesia. Kebetulan di DPR dia mengurusi BUMN dan semen adalah hidupnya. Tidak terlalu mengherankan kalau dia melakukan pembelaan yang 'all out' terhadap semen.

Sulit untuk mengharap orang seperti Azam Asman bersimpati pada orang kecil, miskin, dan susah. Sekalipun, saya percaya, dia dipilih menjadi anggota DPR sebagian besar oleh orang-orang susah. Namun, apakah dia mewakili mereka? Jelas tidak. Sulitnya di Indonesia ini, kita tidak tahu berapa besar uang yang dia keluarkan untuk membuatnya terpilih menjadi anggota DPR.

Sama sulitnya untuk membayangkan bahwa dia menjadi anggota DPR karena program-programnya untuk konstituennya (yang hanya 21 ribu orang itu!). Mungkin dia seperti jamaknya pejabat publik yang terpilih di negeri ini. Mereka membeli suara untuk bisa berkuasa. Ketika sudah duduk di kursi kekuasaan mereka berusaha mendapatkan kembali uang yang sudah dikeluarkan -- dengan bunga dan keuntungan berlipat, tentu saja!

Politisi seperti ini adalah bagian dari spesies 'pengerat.' Mereka mengerat apa saja yang bisa mereka gerogoti. Kadang itu dilakukan tidak sendirian melainkan dalam kebersamaan yang teramat guyub. Jika sudah demikian, hilang sudah batas-batas partai, suku, agama, atau golongan.

Itulah sebabnya, saya tidak mengharap kalau politisi seperti Azam Asman Natawijana ini akan mendukung para petani Kendeng yang hanya meminta agar habitat hidupnya dilindungi. Tidak akan. Wangsa pengerat tidak akan pernah bersimpati pada kaum susah.

Namun, kadang wangsa pengerat seperti ini mengerti apa yang namanya ongkos politik. Mereka tidak memperlihatkan antipatinya pada kaum susah. Sekalipun mereka membencinya. Minimal, di depan umum, mereka tidak menghina kaum yang hidupnya tidak seberuntung dirinya.

Nalar seperti itu rupanya tidak masuk ke dalam otak Azam Asman Natawijana. Persis itu yang dia lakukan. Dengan keyakinan penuh dia ingin menimbun petani-petani dan orang-orang kecil yang melakukan protes ini.

Bagi mereka yang besar pada jaman Orde Baru, memahami kejumawaan seperti ini tidak terlalu sulit. Pembangunan menuntut tumbal. "Jer basuki maya beya," begitu sering kata Soeharto. Hanya saja, selalu saja maksudnya "aku sing basuki, kowe sing mikul beyane." Sederhananya, "gue yang makmur, elo yang nanggung beayanya."

Logika seperti ini tidak pernah hilang. Mungkin karena Orde Baru saat ini sedang dipoles untuk dihidup-hidupkan kembali, membikin kejumawaan Azam Asman Natawijana juga bangkit.

Tidak ada kejumawaan yang lebih menyakitkan daripada menghina orang-orang yang tidak berdaya.

Untuk wangsa pengerat, mulut yang dicor semen barangkali lebih baik daripada mulut hina seperti ini.

http://wikidpr.org/anggota/5403631742b53eac2f8ef836#latar-belakang

NB: Link berita yang memuat pernyataan Azam Asman Natawijana tersebut sudah dihapus dari website harian Kompas. Tapi 'chace'-nya masih bisa diakses:

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache%3AwOiwKeLSUmQJ%3Abisniskeuangan.kompas.com%2Fread%2F2017%2F03%2F15%2F140153926%2Fdpr.minta.presiden.acuhkan.aksi.penolak.pabrik.semen+&cd=1&hl=en&ct=clnk&gl=us

Editor: Andi Muh Satriansyah

0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top