Reporter: Andi Muh Ridha R


(FOTO: Sekjen Yayasan Partisipasi Pembangunan Sulawesi Selatan, Prof Dr Hafid Abbas. Dok. SULSELSATU/MARIYADI)

redaksiaklamasi.org - Yth: Komisaris Utama GMTD selaku Pimpinan Rapat dan para Pemegang Saham dan hadirin sekalian

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita sekalian


Sungguh satu kehormatan bagi saya, sebagai Sekretaris Jenderal Yayasan Partisipasi Pembangunan Sulawesi Selatan mewakili Ketua Yayasan Bapak Dr Tanri Abeng, MBA untuk menghadiri pertemuan ini. Yayasan Partisipasi Pembangunan Sulawesi Selatan disingkat Yayasan memiliki 6.6000.000 lembar saham di Gowa Makassar Tourism Development, atau setara dengan 6,5 persen dari total saham yang dikeluarkan oleh perseroan.
Perlu diingat, di kala pendiriannya pada 14 Mei 1991, para Pemegang Saham adalah Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan diwakili oleh Gubernur, Bapak Prof Dr Achmad Amiruddin 20 persen, Pemerintah Daerah Gowa diwakili oleh Bupati, Bapak Dr Syahrul Yasin Limpo 10 persen, dan Pemerintah Kotamadya Makassar diwakili oleh Bapak Malik Masri 10 persen, dan Yayasan yang diwakili oleh Bapak Achmad Nurhani juga 10 persen, dan Makassar Development Cooperation (MDC), milik Tanri Abeng, dkk 50 persen.
Baru pada tahun 1994, Lippo Group bergabung dengan Tanri Abeng. Setelah GMTDC Go Public di tahun 2000, struktur kepemilikan saham berubah seperti sekarang.
Saya berdiri di sini mewakili Pemegang Saham Yayasan yang khusus didirikan oleh para tokoh Sulawesi Selatan atas prakarsa Tanri Abeng dan Gubernur Achmad Amiruddin untuk mendukung Pembangunan Masyarakat Sulawesi Selatan di bidang ekonomi, sosial budaya, dan pendidikan.

Bagi masyarakat Bugis Makassar, sejarah, adat, dan budaya teramat penting, yang terbingkai dalam nilai-nilai sakral “siri na pacce”, maka sebagai Sekjen Yayasan, saya membaca buku Etika, Hukum dan Keadilan Dimana?, tulisan Tanri Abeng yang mengangkat peranan Lippo Group dan secara khusus Bapak James Riyadi dalam pengembangan GMTD. Tetapi, apakah Lippo Group dapat menguasai Tanjung Bunga tanpa Tanri Abeng dan Gubernur Achmad Amiruddin serta tokoh-tokoh Sulawesi Selatan yang mendirikan Yayasan untuk menjadi pemegang saham Pendiri dalam GMTD di tahun 1991, lebih dari seperempat abad yang lalu.

Saya berupaya memahami visi besar Tanri Abeng takkala menguraikan di halam 7 buku tersebut, “Kenapa Pemda dan Yayasan diikutkan?” Alasannya, semua kawasan wisata pada saat itu hanya dimiliki oleh investor swasta, Tanri Abeng memiliki pandangan lain, yang pada saat itu masih asing namun cukup strategis yaitu kemitraan swasta dan Pemda seyogiyanya model bisnis masa depan khususnya untuk menunjang pembangunan daerah (waktu itu konsep BUMD belum ada).

Sebagai catatan pula Tanri Abeng adalah Ketua Badan Promosi Parawisata Indonesia yang diangkat oleh Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi pada tahun 1990, dan Tanjung Bunga sebagai Kawasan Wisata adalah hadiah Memparpostel kepada beliau yang kemudian oleh Gubernur Sulawesi Selatan, Achmad Amiruddin mengalokasikan lahan 1000 Ha di Makassar dan Gowa.

Dalam refleksi saya di buku Tanri Abeng, di hati dan pandangan tokoh nasional dan putra Sulawesi Selatan ini tercermin ikhtiar autentik yang hendak mewujudkan GMTDC bukanlah sekedar entitas bisnis atau korporasi semata tetapi lebih dari itu. GMTD di bibir pantai, di Tanjung Bunga, adalah simbol identitas kultural masyarakat bahari Sulawesi Selatan yang menguasai samudera dengan karya Finisinya dan berani tenggelam demi mempertahankan budaya Siri na Pacce-nya.

Sejak pendiriannya pada tahun 1991, Yayasan bersama-sama dengan Pemerintah Daerah selalu terwakili dalam kepengurusan GMTD. Barulah dalam RUPS tahun 2017 ini, Yayasan tiba-tiba tidak lagi terwakili di jajaran Komisaris, tanpa pemberitahuan kepada Yayasan secara resmi. Dimanakah etika dan adat istiadat, kebersamaan dan kemitraan. Bagi Yayasan, yang didirikan oleh para tokoh Sulawesi Selatan menganggap bahwa Lippo Group sebagai pemegang saham mayoritas di GMTD tidak saja telah melupakan sejarah dan mengingkari makna nilai-nilai kearifan kultural peradaban Bugis dari masa ke masa tetapi juga telah menodai, menginjak-injak harkat dan martabat para pendiri Yayasan termasuk para tokoh yang telah tiada. Saya ingin mengajak para tokoh masyarakat Sulawesi Selatan di ruangan ini memanjatkan doa kepada arwah Almarhum Bapak Prof Dr Achmad Amiruddin, Almarhum Dr Arnold Baramuli, Almarhum Achmad Nurhani dan lain-lain.

Sekiranya, mereka para tokoh itu masih hidup, tentu tidak dapat menerima apabila hanya ada satu pihak yang mendominasi kawasan ini. Tidak etis, tidak santun, dan tidak pantas mendominasi pengembangan Tanjung Bunga dan sekitarnya dimana GMTD telah tumbuh dan berkembang apabila nilai-nilai historis, adat dan budaya tidak dihiraukan.

Kami paham akan UU Perseroan Terbatas dan Anggaran Dasar Perseroan bahwa pengangkatan pengurus perseroan ditentukan oleh Pemegang Saham Mayoritas. Tetapi apakah harus terjadi seperti ini ataukah inilah cermin budaya Pemegang Saham Mayoritas.


Tidak banyak yang Yayasan bahkan masyarakat Sulawesi Selatan dapat perbuat kecuali menyerah diri kepada hukum Darwin, the survival of the fittest yang kaut akan mendominasi yang lemah. Tetapi apakah ini sesuai makna dari UUD 45 NRI pasal 33 khususnya yang menyangkut demokrasi ekonomi.

Sebagai refleksi dalam nilai-nilai Bugis Makassar, mayoritas tidak harus mengecilkan yang minoritas, yang dikenal dengan tuturan sipatuo sipatokkong, yang bermakna jika “kita tinggi tidaklah harus merendahkan yang pendek, jika kita pendek tidaklah harus berharap balas kasih (charity) dari yang tinggi, jika kita besar tidak boleh mendepak yang kecil, dan jika kita kecil tidak boleh didepak oleh yang besar.” Tuturan ini dikenal dengan: Matanre tenricongari, mapance tenricukuki, banttua temmalinrungi, baeccu tenrilinrungi.

Dalam konteks budaya Bugis Makassar, hukum Darwin, “survival of the fittest” tidak punya tempat, karena ini sungguh-sungguh bertentangan nilai-nilai “sipatuo” dan sungguh-sungguh bertentangan dengan amanat UUD NRI 1945 dan dasar negara kita.

Kita semua patut belajar dari beragam persoalan sosial, ekonomi dan politik di negeri ini. Reaksi penolakan keras masyarakat Bali atas prakarsa Pemda Bali bersama pihak investor yang mereklamasi pantai di Teluk Benoa, perlu menjadi pelajaran berharga bagi GMTD. Warga Bali dengan budayanya yang santun, ternyata rela mengorbankan segalanya apabila ada dominasi dari pihak luar. Begitu pula gejolak pro dan kontra atas reklamasi Teluk Jakarta yang seakan-akan hendak meretakkan kekokohan Negeri ini. Semua ini terjadi jelas karena pengabaian representasi kepentingan masyarakat. Global Wealth Report 2016, yang diluncurkan di Inggeris akhir Desember lalu menunjukkan bahwa negeri kita tercatat dengan tingkat kesenjangan sosial terburuk di Asia dan Pasifik, dan di urutan keempat terburuk di dunia. Apa dasarnya ada satu perusahaan memiliki penguasaan lahan 5 juta hektar atau 80 kali lebih luas dari wilayah DKI. Apa dasarnya, ada empat pengusaha besar di negeri ini memiliki kekayaan yang setara dengan harta benda yang dimiliki 100 juta penduduk atau hampir setengah jumlah penuduk Indonesia seluruhnya. Apa dasarnya negara kita yang luas darat dan lautnya, dua kali lebih besar dari Uni Eropah, namun 72 persen lahannya dikuasai oleh hanya 0,2 persen penduduknya.

Karenanya, Pemda dan Yayasan perlu bersama-sama mengaudit segala bentuk kemitraan dengan pihak luar di semua kabupaten dan kota di provinsi ini untuk mencegah lahirnya kesenjangan sosial yang amat berbahaaya itu. Ingin saya menyampaikan pula bahwa kini KPK dan Komnas HAM telah berkonsultasi secara intensif dengan Presiden agar semua tanah-tanah yang didominasi penggunaannya oleh pihak pihak korporasi agar diambil alih kembali oleh negara dan dikembalikan pemanfaatannya secara maksimal ke penduduk dan warga setempat negeri ini. Mari kita menunggu hasil reformasi agraria yang kini amat intensif digodok oleh Pemerintah.

Atas keputusan pemegang saham mayoritas, sebagai pihak yang ikut melahirkan GMTD lebih seperempat abad lalu, dengan duka cita yang dalam dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada mereka yang telah tiada dan mereka yang masih hidup, atas nama YPSS dan demi harga diri masyarakat Sulawesi Selatan, saya meninggalkan ruangan ini, dan pandangan Yayasan ini saya serahkan ke Pimpinan Sidang.

Makassar, 21 Maret 2017
Sekjen Yayasan Partisipasi Pembangunan Sulawesi Selatan





Prof Dr Hafid Abbas



0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top