Febri Hukum. (redaksiaklamasi.org/Andi Haerur Rijal)

redaksiaklamasi.org - Saya lupa kapan persis waktunya , tapi berawal dari diskusi sederhana yang terjadi saat itu diruang jurusan Ilmu Hukum, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, saya bersama kawan-kawan mahasiswa ilmu hukum menyaksikan dialektika hangat antara bapak Rahman Syamsuddin, S.H, M.H selaku sekretaris jurusan Ilmu hukum yang memahasiswa bersama pakar HAM sekaliber Dr.Fadli Andi Natsif, S.H, M.H selaku dosen tetap Fakultas Syariah dan Hukum, yang juga malang melintang di dunia aktvisme mahasiswa dimasanya. Setahu saya beliau aktivis HMI FH-UH dan wartawan kampus yang menjadi pemicu begitu giatnya berliterasi. Dialektika yang terjadi mengenai eksistensi pemahaman dan pengejewantahan cita-cita keadilan dan ketidakadilan itu sendiri. Relatifitas makna keadilan begitu kental dalam pluralitas teori-teori keilmuan hukum. Bagaimanapun juga kita sebagai kaum intelektual perlu memancing sang dosen untuk mendiskursifkan keilmuannya. Dosen tidak boleh terpasung dan terpenjara pada oase ekslusifitas tapi senangtiasa berada dalam oase inklusifitas keilmuannya. Tidak boleh lagi ada ego sektarianisme pemikiran antara kaum dosen dan kaum mahasiswa. Maka pasca dialektika itu, saya terinspirasi untuk menulis sebait, dua bait bahkan berbait-bait bersinggungan dengan keadilan. Tulisan sederhana sebagai penulis pemula. Karena kata bang Pramudya Anantatoer, “anda boleh sepintar apapun tapi tanpa menulis anda akan terlupa oleh sejarah”.


Adalah logis ketika keadilan menjadi oase perdebatan intelektual dibebagai kalangan, tak mengenal apa latar belakang pendidikannya. Entah hukum, filsafat, kesehatan, sosial, ekonomi dan politik. Konsepsi keadilan selalu seksi untuk dikaji baik dalam tataran idealitas sampai realitas. Dalam pameo hukum dikatakan, meskipun esok langit akan runtuh keadilan akan tetap ditegakkan. Tapi pertanyaannya kemudian, apakah sebenarnya keadilan itu ? Mengapa disetiap problematika yang dihadapi dalam konteks individu dan masyarakat, terkadang kita berkata ini tidak adil bagi saya ? Belum lagi diskursus pluralitas keadilan, seperti keadilan ilahi, keadilan sosial bahkan keadilan ekonomi.

Term Keadilan


Secara lughawiyah (etimologis) keadilan adalah, “adil” yang diambil dari bahasa Arab “adl”. Kamus-kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti “sama”. Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal –hal yang bersifat immaterial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “adil” diartikan: (1) tidak berat sebelah atau tidak memihak, (2) berpihak pada kebenaran, dan (3) sepatutnya atau tidak sewenang-wenang.


“Persamaan” yang merupakan makna asal “adil” itulah yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak”, dan pada dasarnya pula seorang yang adil “berpihak yang benar” karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu yang patut lagi “tidak sewenang-wenang”.


Oase Teori


Keadilan akan selalu dimaknai abstrak. Hanya berada dalam tataran idealitas bukannya realitas. Kalau sepakat akan hal itu benarkah bahwa keadilan itu immateril bukan materil ? bagaimana mungkin hal yang materil dapat menggapai totalitas yang immateril ? makanya tulisan ini saya beri kata hias “ruang hampa”.


Demikian sentral dan dominan kedudukan dan peranan dari nilai keadilan bagi hukum, sehingga Gustav Radbruch menyatakan ” rechct ist wille zur gerechtigkeit” (hukum adalah kehendak demi untuk keadilan). Seringkali juga kita menyebutnya Tidak hanya berhenti disitu, teori-teori keadilan bergerilliya di mana-mana. Pun demikian, salah satu tokoh hukum di Indonesia bernama Peter Mahmud Marzuki menyatakan hal senada bahwa tujuan keadilan hanya satu yakni keadilan. Sedangan kepastian dan kemanfaatan hanyalah tangga untuk mencapai keadilan.


Hubungannya degan hal tersebut, maka Plato (428-348 SM) pernah menyatakan, bahwa negara ideal apabila didasarkan atas keadilan, dan keadilan baginya adalah keseimbangan dan harmoni. Harmoni di sini artinya warga hidup sejalan dan serasi dengan tujuan negara (polis), di mana masing-masing warga negara menjalani hidup secara baik sesuai dengan kodrat dan posisi sosialnya masing-masing.


Dalam literatur pemikiran lain tentang keadilan, kita mengenal istilah dan konsepsi utilitas.Akan tetapi, konsep utilitas pun mendapatkan ktitikan tajam seperti halnya teori-teori yang lain sehingga dengan adanya kritik-kritik terhadap prinsip kemanfaatan hukum tersebut, maka John Rawls, mengembangkan sebuah teori baru yang menghindari banyak masalah yang tidak terjawab oleh utilitarianisme. Teori kritikan terhadap utilitas dinamakan teori Rawls atau justice as fairness (keadilan sebagai kejujuran).


Secara pribadi pun saya mengakui banyak sekali teori-teori keadilan yang tergeletak dilantai-lantai fakultas hukum. Dari hulu ke hilir, bahkan dari teori sampai praksis keadilan. Mulai dari ruang Rektor, Dekan yang bersih dan ber-AC sampai ruang diskusi mahasiswa yang apa adanya dan toh nyatanya digusur dan dibakar dimana-mana. Inilah bentuk ketidakadilan intelektual. Saya pernah berkelakar dan sedikit berpikir nakal tentang keadilan. Pemikiran ini saya beri nama, Teori Keadilan Indonesia (TKI). Bagi saya keadilan itu seperti batu kristal, berlian, tepatnya barang mewah di Indonesia. Hanya kalangan atas yang memilikinya seperti pejabat-pejabat bukan mereka yang tak berpunya. Orang kaya bisa membeli sedangkan yang miskin tidak. Meminjam istilah Karl Marx dan Ali Syariati, selayaknya kaum borjuis dan proletar, mustadafin dan mustakbirin. Apabila diperhatikan secara seksama, kilauan warna dan cahaya pada kristal berbeda-beda setiap sisi dan dimensinya. Begitulah sejatinya keadilan. Mungkin saja di satu sisi kita menganggapnya tidak adil, tapi ternyata disisi lain itu adalah adil. Terkadang ketidakadilan dianggap adil dan yang adil dianggap sebagai ketidakadilan. Hanya orang-orang berakal yang seraya dalam kehidupan intelektualnya memperdebatkan keadilan, baik dalam tataran ide maupun realitas sosial. 


Semoga Tuhan Yang Maha Esa tetap menunjukkan kepada kita jalan yang lurus dan sesuai hakikat penciptaan manusia yang salah satunya mewujudkan keadilan dimuka bumi ini.


Penulis : Febri Hukum (Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum UIN Alauddin Makassar, Pengurus HMI Komisariat Syariah dan Hukum Cabang Gowa Raya serta Ketua Umum ILS Periode 2015-2016)

Editor : Andi Haerur Rijal


0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top