Ilustrasi: Lukisan karya seniman realis Iran, Iman Maleki. (redaksiaklamasi.org/Andi Muh Ridha R)
|
redaksiaklamasi.org - Saat saya pertamakali melihatnya, ia
selalu tersenyum pada setiap orang yang turun dari angkutan umum yang saya tumpangi
ketika saya berangkat menuju studio tempat saya biasa On Air setiap malam Rabu
untuk materi Seni dan Gaya Hidup yang pemandunya tak lain adalah teman saya
sendiri.
Semula,
saya menganggapnya sebagai pengalaman yang biasa saja. Katakanlah pengalaman
dan kenyataan hidup yang seringkali terjadi ketika saya hidup di kota-kota di
Indonesia.
Saat
itu, ia sebenarnya tak hanya tersenyum-senyum sendiri yang adakalanya diselingi
tawanya yang samar. Ia juga bergerak-gerak atau lebih tepatnya bergoyang-goyang
ke samping kiri dan kanan mirip seorang bocah perempuan yang sedang belajar
bernyanyi dengan malu-malu. Hanya saja saya tak lagi memikirkannya ketika
angkutan umum yang saya tumpangi kembali melaju. Sebab yang sebenarnya adalah
karena pikiran saya sibuk mematangkan materi seputar Minat Baca dan Gaya Hidup
Remaja Kota, sebuah materi yang sebenarnya membuat saya cukup terbebani dan
menguras pikiran, terlebih karena sejauh pengalaman saya remaja-remaja di kota
kecil tidak mencerminkan remaja-remaja yang mau menyisihkan uang jajan mereka
untuk membeli buku-buku bacaan di luar buku wajib mereka di sekolah.
Sesampainya
di studio tempat biasa saya On Air, saya berdiskusi terlebih dahulu dengan
teman saya yang sekaligus pemandu saya seputar tema yang akan kami udarakan
malam itu. Tak saya sangka, teman saya berpendapat bahwa alangkah lebih baiknya
bila tema yang akan diangkat disisipi dengan muatan yang dapat membangkitkan
minat remaja pada kenyataan kehidupan sehari-hari yang sebenarnya sering mereka
jumpai. Kontan saja pikiran saya tertuju pada perempuan gelandangan yang saya
lihat dalam perjalanan menuju studio yang telah saya katakan itu.
Setelah
obrolan singkat kami itu kami pun memasuki studio dan langsung melenturkan tema
dan materinya menjadi “Menjumpai Keseharian”. Kami tak menyangka, selama kami
On Air malam itu, ada puluhan pemirsa yang menelepon untuk bertanya dan
menyumbangkan pendapat mereka. Maka jadilah On Air malam itu sebagai On Air
yang menempati rating paling tinggi dibanding sebelum-sebelumnya. Dan tentu
saja kami pun merasa bahagia dan senang.
Di
hari Selasa sore minggu berikutnya saya kembali berangkat untuk kembali On Air
dengan materi yang berbeda. Dalam perjalanan saya di hari Selasa yang untuk
kesekian kalinya itu saya tak melihat perempuan gelandangan yang telah saya
lihat sebelumnya.
Saya
pun mulai bertanya-tanya ke mana gerangan si perempuan gelandangan itu
sekarang? Di dalam angkutan umum yang saya tumpangi hari itu saya mulai
memikirkan kemungkinan-kemungkinan ia berada. Tapi sepanjang perjalanan itu
saya tak melihatnya.
Pada
kesempatan On Air untuk yang kesekian kalinya itu, saya memutuskan untuk
menginap di ruang rekaman yang bersebelahan dengan ruang studio. Mungkin karena
malam itu saya terlampau lelah untuk melakukan perjalanan pulang setelah saya
ngobrol dengan salah satu penyiar perempuan yang minta ditemani sampai tiba
gilirannya On Air pada jam dua belas malam. Meski selepas jam sebelas malam itu
saya sebenarnya sudah merasakan kantuk akibat kelelahan.
Keesokan
harinya saya pun berangkat pulang pada jam sembilan pagi setelah sarapan nasi
uduk dan menghabiskan segelas Cappuccino. Juga tentu saja, menghisap sebatang
rokok kretek kesukaanku.
Saat
saya telah masuk angkutan umum, awalnya saya duduk tenang saja di dalam
angkutan umum yang saya tumpangi. Tapi karena macet yang cukup lama dan membuat
tubuh saya gerah, saya pun ingin mengetahui penyebab kemacetan. Dan ketika saya
menanyakannya pada si sopir, si sopir menjawabnya bahwa ada kecelakaan beberapa
ratus meter di depan.
“Oh,
begitu,” ujar saya.
Setengah
jam kemudian angkutan umum mulai melaju. Begitulah selanjutnya. Di hari Selasa
berikutnya lagi saya pun kembali berangkat menuju studio seperti
sebelum-sebelumnya. Lagi-lagi saya tak melihat si perempuan gelandangan di
tempat pertamakali saya melihatnya. Tapi beberapa ratus meter kemudian saya
melihatnya tengah bersandar di sepohon besar pinggir jalan. Kali ini gaun dekil
yang dikenakannya terlihat berubah dan sangat berbeda. Lengan kiri gaun yang
dikenakannya kali ini robek dan bagian yang menutup dadanya sedikit terbuka
hingga menampakkan sebagian dadanya.
Dan
yang membuat saya penasaran dan bertanya-tanya adalah ketika tangan kanannya
seolah tengah meraba-raba dan meremas-remas bagian tubuhnya yang berada di
bawah perutnya dan di ujung dua pahanya.
Melihat
hal tersebut saya pun mulai membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi
dan yang dialaminya.
“Mungkinkah
ia telah diperkosa?” Tanya saya dalam hati. Karena ketika itu ia seperti tengah
menahan kesakitan di saat ia menyandarkan kepalanya dan mendongakkan wajahnya
ke atas, mirip seseorang yang tengah berdoa kepada langit yang ditatapinya.
“Jika
benar ia telah diperkosa, terkutulah orang yang telah memperkosanya,” bathin
saya.
Tanpa
saya sadari sepanjang perjalanan itu pikiran saya sibuk menerka-nerka kejadian
apa yang menimpanya.
“Ah,
mungkin saja ia lapar,” saya menduga-duga dalam hati.
“Atau
mungkin juga hanya merasakan kesakitan, tapi bukan karena diperkosa,” saya
terus membathin.
Namun,
lamunan saya berhenti ketika si sopir mengingatkan saya bahwa saya telah sampai
di tempat yang saya minta padanya untuk berhenti jika telah sampai. Dan tentu
saja seperti biasanya, malam itu kami kembali On Air, dan saya pun kembali
menginap di studio sambil menemani seorang penyiar perempuan yang biasa
dipanggil Mbak Mela.
Selama
Mbak Mela On Air malam itu saya menemaninya sembari membaca koran-koran yang
telah saya bawa ke studio dari tempatnya. Di sela-sela iklan siaran saya pun
mulai meminta pendapat Mbak Mela bagaimana bila seorang perempuan gelandangan
diperkosa.
Saat itu saya ingin tahu perasaan dan empati Mbak Mela sebagai
sesama perempuan.
“Misalkan,
ini hanya seandainya lho!,” papar Mbak Mela, “Misalkan yang diperkosa itu
adalah saya, tentu saya akan mengalami trauma,” lanjutnya.
“Meski
yang diperkosa itu perempuan gila alias perempuan tak normal?”, tanya saya.
“Saya
pikir itu tak akan ada bedanya sepanjang ia memiliki perasaan seperti halnya
saya,” lanjut Mbak Mela.
“Kalau
boleh tahu, kenapa kau menanyakan hal itu?”, tanya Mbak Mela.
“Bukan
apa-apa sih”, kilah saya, “Hanya saja saya melihat seorang gelandangan yang
saya pikir telah mengalami perkosaan ketika saya dalam perjalanan menuju ke
sini”, papar saya,
“Maksudnya
kamu melihatnya diperkosa?”, tanya Mbak Mela.
“Tidak
juga sih”, jawab saya, “Saya hanya mengambil kesimpulan dari ekspresi wajahnya
dan kondisi tubuhnya juga pakaiannya ketika saya melihat dirinya yang
meraba-raba bagian tubuhnya yang berada di bawah perutnya dan di ujung kedua pahanya
dengan tangan kanannya, sementara ia mendongakkan wajahnya ke atas”, lanjut
saya.
“Mungkin
saja ia diperkosa, tapi mungkin saja hal lain yang menimpanya”, ujar Mbak Mela,
“Sebab bisa jadi kesimpulan kamu itu keliru di saat kamu tak melihatnya diperkosa,
apalagi kecendrungan orang adalah membenarkan anggapannya sendiri, tapi saya
percaya kamu tidak seperti itu.”
Saya
tak melanjutkan perbincangan itu karena khawatir mengganggu tugas Mbak Mela
untuk siaran, dan saya pun kembali membaca koran yang bertumpuk di hadapan
saya, di meja studio malam itu.
Setelah
Mbak Mela selesai siaran, saya langsung menuju sofa ruang tamu dan membaringkan
tubuh saya hingga tertidur tanpa saya sadari.
Keesokan
harinya saya pun berangkat pulang. Pagi itu saya tak lagi memikirkan
keingintahuan saya pada apa yang menimpa si perempuan gelandangan yang sempat
membuat saya gelisah itu. Mungkin karena saya terpengaruh oleh pendapat Mbak
Mela.
Tapi
di pagi itu saya menyimak perbincangan, lebih tepatnya cerita sopir angkutan
umum yang tengah saya tumpangi kepada temannya yang sama-sama duduk di depan
bersama si sopir. Si sopir itu bercerita bahwa ia hampir saja menabrak
perempuan gelandangan di hari yang sama ketika saya melihatnya untuk yang kedua
kalinya itu. Untung saja, cerita si sopir, ia hanya menyerempetnya ketika ia
hendak melaju setelah menurunkan beberapa penumpang.
Saya
hanya bisa tersenyum ketika mendengar cerita si sopir, atau lebih tepatnya saya
berusaha untuk tidak tertawa agar tidak dituduh gila oleh sesama penumpang.
Ilustrasi: Lukisan karya seniman realis Iran, Iman Maleki.
Oleh: Sulaiman Djaya (Dewan Kesenian Banten)
Editor: Andi Muh Ridha R
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar