Sakib Machmud. (redaksiaklamasi.org/Muh Taqwin Tahir)


redaksiaklamasi.org - Manusia sebagai bagian dari alam, tunduk pula kepada Sunnatullah. Manusia mengikuti hukum gravitasi bumi, hukum pengembangan atau penyusutan akibat panas dan dingin, kaidah penguapan air, dan sebagainya. Namun Allah menetapkan manusia sebagai makhluk yang berakal, dan karena itu menempati kedudukan tertinggi di antara makhluk-makhluk lainnya. [QS At-Tin (95):4]. 

Maka Dia memberi kebebasan kepada manusia untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya. Pasangan dari kebebasan adalah tanggung jawab. Maka manusia harus mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya di dunia langsung kepada Allah SWT. Pertanggungjawaban serta reward and punishment sebagai akibatnya, akan dilakukan dan diterima manusia dalam kehidupannya yang kedua yaitu di alam akhirat. Jelas bahwa kebebasan yang dimiliki manusia dapat membawanya kepada kebahagiaan yang sejati, yaitu bila digunakan untuk berbuat kebaikan secara suka rela. Tetapi kebebasan juga dapat mencelakakan dirinya karena sangat mungkin manusia dengan sadar melakukan banyak keburukan. Akal manusia sebenarnya dapat membedakan yang benar dari yang salah, yang baik dengan yang buruk. Tetapi bila akal dikendalikan nafsu dia menjadi tumpul atau justru membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Maka atas kemurahan-Nya Allah menurunkan bagi manusia petunjuk khusus, sebagai kisi-kisi yang mengantarkan mereka kepada kebahagaiaan yang hakiki dan menyelamatkan mereka dari kesengsaraan yang abadi. 

Petunjuk Allah tersebut Dia wujudkan dalam bentuk wahyu, yang Dia sampaikan kepada umat manusia seluruhnya, melalui orang-orang tertentu yang Dia tetapkan. Sebagai penerima wahyu, orang terpilih itu disebut Nabi – penerima naba atau berita besar. Nabi kemudian difungsikan Alllah sebagai petugas yang diutus menyampaikan wahyu kepada umat, dia disebut Rasulullah – utusan Allah. Semua orang tanpa kecuali memerlukan petunjuk langsung dari Allah tersebut, maka yang diutus Allah sebagai Rasul-Nya yang pertama adalah manusia pertama yaitu Adam AS. Sesudah itu turun Rasul-rasul pada berbagai tempat dan generasi [Surah Yunus (10):47]. Sebagian dari mereka disebut dan sebagian lagi tidak diberitakan kepada generasi kemudian. [QS Al-Nisa (4):164]. Sampai pada suatu ketika Allah menganggap wahyu-wahyunya sudah sempurna dan dapat menjadi bekali bagi manusia dalam menghadapi persoalan-persoalan yang terus berkembang sampai dengan akhir zaman. Maka Allah menetapkan Muhammad SAW sebagai Rasul yang terakhir [QS Al-Ahzab (33):47], dan dengan sendirinya wahyu yang beliau terima adalah himpunan wahyu yang penghabisan. 

Di antara petunjuk-petunjuk Allah yang diwahyukan kepada para Rasul itu, ada yang hanya dimaksudkan untuk mengatasi masalah yang muncul pada saat Rasul bersangkutan melaksanakan tugasnya, tetapi ada pula yang merupakan sebuah sistem ajaran yang lengkap. Bentuk yang terakhir ini disebut Kitab. Ada empat Rasul Allah yang menerimanya yaitu Musa AS menerima Taurat, Dawud AS mendapat Zabur, ‘Isa AS menerima Injil dan Muhammad SAW memperoleh Al-Quran. Keempat Kitab tersebut dan shuhuf-shuhuf – lembaran-lembaran wahyu yang ditunrunkan selainnya, adalah firman Allah. Maka prinsip-prinsip yang dinyatakan di dalamnya pasti sama dan tidak mungkin bertentangan. Kalau ada perbedaan di antara Kitab yang satu dengan yang lain, itu hanya pada ketentuan pelaksanaan. Perubahan dan penambahan di dalam masalah teknis diperlukan untuk mengikuti perkembangan keadaan.


Oleh : Sakib Machmud (Salah Seorang Penggagas Nilai-nilai Dasar Perjuangan HMI)

Editor: Muh Taqwin Tahir

0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top