an
udara terbesar sepanjang sejarah bercokolnya Israel di Libanon. Rincian
peristiwa yang terjadi pun perlahan-lahan menjadi legenda. Dan juga nama
seorang Pemimpin Hizbullah menjadi sorotan utama di setiap media-media cetak
maupun elektronik, yaitu Sayyid Hasan Nashrallah yang berkibar sebagai pemimpin
Arab.
Nashrallah memanfaatkan popularitasnya untuk menggelindingkan agenda besar perlawanan terhadap Amerika Serikat dan Israel ke seluruh lapisan Arab yang sudah sejak lama tertimpa mentalitas “bangsa kalah” ini. Nashrallah menyatakan kepada seluruh pengikut Hizbullah bahwa: “Amerika Serikat dan Israel sebagai aggresor terbesar abad ini tidak mampu lagi menetralisasi perlawanan umat Islam secara militer. Satu-satunya taktik mereka adalah adu domba sektarian. Secara sadar atau tidak, kelompok-kelompok tertentu dalam tubuh Islam menjalankan misi bahaya ini di negeri-negeri Muslim.”
Hizbullah juga sangat berbeda dengan kelompok yang mengatasnamakan Islam lainnya, seperti Al-Qaeda (yang sebenarnya bentukan Amerika), di mana strategi politik kedua gerakan ini saling berseberangan. Berbeda dengan Al-Qaeda, Hizbullah telah menerima proses politik dan bekerja secara formal dalam politik partisipatoris dan kompetitif (meski dengan tetap mempertahankan sayap para militernya). Sementara Al-Qaeda berjuang untuk menghancurkan seluruh rezim Arab dan sekutu-sekutunya demi menggantikan semuanya dengan sistem pemerintahan gaya Taliban.
Hizbullah berjuang di dalam sistem politik Libanon. Sekalipun sangat revolusioner, Hizbullah secara tidak langsung siap bernegosiasi dan berkompromi dengan musuh-musuhnya (seperti terbukti pada sejumlah pertukaran tawanan dengan Israel selama dua dekade terakhir). Singkatnya, berbeda dengan Al-Qaeda, Hizbullah siap diajak bertransaksi. Segenap perbedaan ini sebenarnya bersumber dari perbedaan pemahaman terhadap prinsip-prinsip jihad dalam Islam. Al-Qaeda menggunakan jihad dalam konteks penyerangan dan ekspansi (agressi dan destruktif), sementara Hizbullah membatasi jihad pada konteks perlawanan.
Dalam perkembangannya, perbedaan ini memunculkan banyak dampak yang sangat luas, baik pada tataran strategis, taktis, dan operasional jihad. Jika ideologi Hizbullah dapat melahirkan strategi jihad yang menghidupkan dimensi-dimensi jihad intelektual, sosial, politik, diplomatik, dan media yang konsisten dan disegani, maka ideologi jihad model Al-Qaeda berangsur-angsur merosot kepada dimensi militer yang menjauhkan partisipasi sosial di dalamnya (yang malah acapkali menguntungkan gerakan imperialisme Barat itu sendiri) di saat Al-Qaeda menjalankan politik sektarian di tubuh ummat Islam.
Berdasarkan pernyataan sikap Hizbullah, pada tanggal 16 Februari 1985, ditegaskan bahwa, “Hizbullah akan mematuhi perintah pemimpin yang bijaksana dan menjunjung tinggi keadilan dalam bentuk Wilayatul Faqih dibawah pimpinan Ruhullah Ayatullah Khomeini, sang pencetus lahirnya Revolusi Islam dan pelopor kebangkitan Islam”.
Para petinggi Hizbullah menyatakan bahwa hubungan kelompoknya dengan Iran berawal dari pemahaman yang sama, yaitu Islam Syi’ah. Mereka menjadikan para pemimpin Syi’ah di Iran sebagai rujukan dalam masalah agama dan politik. Namun setelah wafatnya Ayyatullah Khomeini, muncul banyak pendapat yang menolak sistem kepemimpinan ala Khomeini. Hal ini membuka kesempatan untuk berdiskusi lebih tajam dalam mengambil setiap kebijakan.
Sekalipun demikian, Hizbullah tetap menjadikan Iran sebagai kiblat politik dan budaya. Maka wajar apabila Hizbullah lalu mendapatkan sokongan materi dari Iran, disamping bantuan lain yang didapat dari iuran anggota.
Program utama Hizbullah adalah program kesatuan Islam dan menyatukan Sunni dan Syi’ah dalam satu kesatuan, merontokkan konflik sektarian dan membawa mereka pada iklim diskusi, dialog, baik secara ilmiah maupun fiqhiyyah. Karena, musuh mempunyai segala cara untuk merusak keharmonisan Islam di Libanon dan bahkan isu sektarian adalah senjata utama musuh.
Persatuan antara pengikut mazhab Islam dengan menguatkan persaudaraan yang berlandaskan Al-Qur’an dengan melawan musuh bersama, itulah juga yang menjadi prioritas Hizbullah. Tidak menoleransi sesuatu yang bisa memicu perselisihan dan perpecahan disertai upaya untuk menyelesaikan jika hal itu memang terjadi, serta memastikan terwujudnya kebebasan penganut setiap aliran untuk menerapkan pemahaman mereka di daerah masing-masing di bawah naungan Negara Islam yang satu.
Keinginan Hizbullah sangat keras dalam penentangannya terhadap dunia Barat dan Zionis Israel. Hizbullah ingin menyelamatkan Libanon dari mengekor kepada Barat atau Timur, mengusir penjajahan Zionis dari tanah Libanon secara total dan menegakkan sistem pemerintahan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan pilihan dan kebebasannya. Terbukti bahwa Hizbullah sangat serius dalam melindungi Libonon hingga cengkraman Israel di Libanon Selatan selama 22 tahun pun berakhir berkat perlawanan Syi’ah-Hizbullah, tepatnya pada tanggal 25 Mei 2000.
Pada tahun 2006, Hizbullah lebih dikenal lagi atas kemenangan kelompok ini mengusir keberadaan Israel di Negara Libanon. Demikianlah, bersamaan dengan itu, mencuatlah sebuah nama pemimpin Hizbullah yaitu Sayyid Hasan Nashrallah. Keberanian dan semangat setiap melakukan pidato di mimbar-mimbar sangat mempengaruhi pengikut Hizbullah dan juga orang-orang yang tidak tergabung dalam Hizbullah. Gaya berbicara dan penyampaian yang selalu berkobar-kobar adalah ciri khas pemimpin Hizbullah tersebut.
Pada saat salah satu intelijen Hizbullah yang bernama Imad Mugniyah menjadi syuhada dalam ledakan bom mobil di Damaskus, Suriah, di tengah-tengah pemukiman penduduk, banyak yang tidak mengenal seorang intelijen Hizbullah ini, sehingga pada saat kesyahidannya, dunia tidak terlalu memberitakannya.
Selama 20 tahun Badan intelijen Amerika Serikat sendiri sulit untuk melacak keberadaan intelijen Hizbullah tersebut. Pada saat hari memperingati ke-syahid-an Imad Mughniyah 14 Februari 2008, Sayyid Hasan Nashrallah menyampaikan pidato yang sungguh menambah semangat juang dan perlawanan para pejuang Hizbullah khususnya dan rakyat Libanon umumnya. Pidato tersebut berbunyi:
“Hari ini, mereka telah meneror Imad Mughniyah dan mengira bahwa dengan pembunuhan atasnya mereka dapat menekan dan meruntuhkan semangat kami. Maka, ketahuilah bahwa perang ini masih terus berlangsung, sebab gencatan senjata sampai saat ini belum pernah diumumkan. Perang ini masih berlangsung dari sisi materi, keamanan dan militer, serta masih akan diteruskan oleh semua Negara yang membantu Israel dalam perang musim panas 2006 lalu. Dunia harus tahu bahwa dibawah kepemimpinan saya, kami siap untuk menghancurkan Israel”.
Kemudian Nashrallah melanjutkan, “Wahai Zionis, jika kalian menginginkan perang ini menjadi perang terbuka dan luas, kami siap. Saat itu saya memberikan janji kemenangan pada kaum mukmin, karena saya mempercayai mereka, perjuangan mereka dan rakyat Libanon. Secara ringkas saya katakan bahwa meski keinginan mereka yang mengundang angkatan bersenjata untuk memerangi Libanon dan Suriah, sedang mereka tidak mampu berperang dan mereka hanya bisa melakukan adu domba sektarian. Maka saya katakan bahwa Libanon akan tetap kokoh. Libanon akan tetap menjadi sebuah Negara bersatu. Kita tujukan suara kita kepada pembunuh dan musuh bahwa perlawanan akan terus kita lanjutkan sampai akhir kemenangan.”
Nama Sayyid Hasan Nashrallah tiba-tiba mendunia ketika konflik militer terbuka antara Zionis Israel dan Hizbullah selama 34 hari di Libanon itu. Sebelumnya, namanya hanya terekspos samar-samar karena Amerika dan Israel menempatkannya sebagai salah satu tokoh paling berbahaya di Timur Tengah. Nashrallah memang menantang, dialah orang pertama di dunia Arab yang mampu mengembalikan kehormatan Arab setelah dipermalukan berulangkali oleh Israel, memberikan kemenangan setelah kekalahan dan memberikan kekuatan pada bangsa yang sekian lama merasa tak berdaya.
Berbeda dari para pemimpin sekuler Arab terdahulu, Nashrallah lebih religius dan memiliki karakter serta kharisma yang berbeda. Dia memberikan bukti, bukan sekedar janji kosong politisi yang biasa menerapkan “Lain kata, lain pula perbuatan”. Keberhasilannya mengusir penjajahan Israel di wilayah Libanon Selatan, menjadikan Nashrallah sebagai figur yang disegani kawan dan lawan. Tak Cuma memangkas dunia Arab dari bayang-bayang masa lalu menyakitkan, Nashrallah juga mempermalukan para pemimpin Arab saat itu, yang semula mengecamnya karena dianggap ngawur karena memicu perang melawan Israel pada 12 Juli 2006 yang ternyata memberikan kemenangan politik dan militer.
Hampir seluruh rezim Arab saat ini, seperti Mesir, Jordania dan Arab Saud, adalah sekutu dekat Amerika. Ketika itu tiga generasi bangsa Arab harus menelan rasa sakit karena dipermalukan gabungan kekuatan Israel dan Barat. Lima kali perang Arab terbesar yang terjadi: 1948, 1956, 1967, 1973, dan 1982, semua berakhir dengan kekalahan Arab.
Tubuh Nashrallah tidak terlalu tinggi, wajahnya agak gemuk dengan raut kekanakan di balik janggut tebalnya. Meski penampilannya tak terlalu mengesankan, tapi dia terkenal sebagai ahli pidato yang mampu menggugah massa. Pidato-pidatonya yang menguliti politik dunia Arab dan strategi Hizbullah lebih bersifat analitis ketimbang retorika tanpa makna. Ciri khas lainnya adalah ia jarang mengucapkan janji yang tak bisa dipenuhinya. Ketika Nashrallah mengatakan kepada Rakyat Libanon: “Aku adalah keinginanmu, aku adalah suara hatimu dan aku adalah perlawananmu”. Nashrallah telah menggabungkan kerendahan hati sekaligus tanggung jawab untuk melaksanakan tugas.
Sebagai pemimpin, Sayyid Hasan Nashrallah memiliki kekerasan hati dan ketabahan yang sulit ditiru. Ini ditunjukkannya ketika putra tertuanya yang bernama Hadi terbunuh pada tahun 1997. Hadi ikut ambil bagian dalam kelompok perlawanan Islam (sayap bersenjata Hizbullah) melawan tentara pendudukan Israel. Militer Israel menyandera jenazah Hadi yang pada saat itu masih berusia 18 tahun dan dia putra kesayangan Nashrallah. Tapi di depan pengikutnya, Nashrallah bersikap biasa dan tak mengubah jadwal rutinnya. Nashrallah berbicara di depan para pengikut Hizbullah pada saat merayakan ulang tahun Hizbullah:
“Kita bangga saat putra-putra kita berada di garis terdepan dan berdiri dengan kepala tegak ketika mereka menjadi syuhada”.
Peristiwa kematian putranya dan sikapnya menolak bernegosiasi dengan Israel untuk mendapatkan jenazah putranya kembali menorehkan nama Nashrallah di hati rakyat Libanon, termasuk dari kalangan Kristen dan Sunni. Kata Nicholas Noe, pengamat Hizbullah dan editor Mideasetwire.com yang bebasis di Beirut: “Saat itu separuh Libanon menangis”. Masyarakat Libanon lebih kagum lagi ketika pada Mei 2000 setelah pendudukan, Israel akhirnya keluar dari Lebanon Selatan.
Dalam spektrum politik Timur tengah, Hizbullah kerap dilihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Depertemen Luar Negeri AS telah memasukkan Hizbullah dalam daftar teroris yang harus dilenyapkan. Apapun pendapat Negara Barat, semuanya sepakat bahwa mereka tak bisa lagi meremehkan Sayyid Hasan Nashrallah. Dialah otak yang telah mengubah Hizbullah dari sekedar gerilyawan bereputasi biasa menjadi organisasi tangguh yang ditakuti di medan tempur dan di hormati di medan politik Libanon.
Majalah Newsweek tak kurang menyebut Nashrallah sebagai figur paling kharismatik di dunia Islam dan boleh jadi paling berbahaya. Meski hanya mengenakan jubah ulama Syi’ah kelas biasa, Nashrallah sudah masuk dalam kategori politisi kelas dunia, karena kelihaian politik dan militernya yang sulit ditandingi siapa pun.
Dunia Barat dan sekutunya seperti Zionis Israel telah berupaya keras dalam mempengaruhi politik di Timur Tengah. Segala cara dan tindakan yang harus ditempuhnya untuk membuat Timur Tengah tunduk dalam segala aspek politik dan ekonomi. Dari awal dinasti Syah Reza Pahlevi yang merupakan “Boneka Barat” timbul sebuah revolusi yang dilakukan oleh seorang ulama tua AYATULLAH KHOMEINI, dari situlah melahirkan perlawanan-perlawanan terhadap dunia Barat yang menjadi musuh Islam. Tidak disangkal lagi bahwa Hizbullah adalah anak dari revolusi yang dilakukan oleh Ayatullah Khomeini di Iran.
Banyak yang belum terlalu mengenal apa dan siapa Hizbullah dan Sayyid Hasan Nashrallah, sehingga Dunia hanya mengetahuinya dari buku-buku yang berpihak pada dunia Barat. Kemudian muncullah sebuah anggapan bahwa Hizbullah adalah gerakan Islam radikal seperti halnya Al-Qaeda (di mana Al-Qaeda ini belakangan seringkali beroperasi sebagai mitra Amerika) dengan melakukan politik sektarian.
Nashrallah memanfaatkan popularitasnya untuk menggelindingkan agenda besar perlawanan terhadap Amerika Serikat dan Israel ke seluruh lapisan Arab yang sudah sejak lama tertimpa mentalitas “bangsa kalah” ini. Nashrallah menyatakan kepada seluruh pengikut Hizbullah bahwa: “Amerika Serikat dan Israel sebagai aggresor terbesar abad ini tidak mampu lagi menetralisasi perlawanan umat Islam secara militer. Satu-satunya taktik mereka adalah adu domba sektarian. Secara sadar atau tidak, kelompok-kelompok tertentu dalam tubuh Islam menjalankan misi bahaya ini di negeri-negeri Muslim.”
Hizbullah juga sangat berbeda dengan kelompok yang mengatasnamakan Islam lainnya, seperti Al-Qaeda (yang sebenarnya bentukan Amerika), di mana strategi politik kedua gerakan ini saling berseberangan. Berbeda dengan Al-Qaeda, Hizbullah telah menerima proses politik dan bekerja secara formal dalam politik partisipatoris dan kompetitif (meski dengan tetap mempertahankan sayap para militernya). Sementara Al-Qaeda berjuang untuk menghancurkan seluruh rezim Arab dan sekutu-sekutunya demi menggantikan semuanya dengan sistem pemerintahan gaya Taliban.
Hizbullah berjuang di dalam sistem politik Libanon. Sekalipun sangat revolusioner, Hizbullah secara tidak langsung siap bernegosiasi dan berkompromi dengan musuh-musuhnya (seperti terbukti pada sejumlah pertukaran tawanan dengan Israel selama dua dekade terakhir). Singkatnya, berbeda dengan Al-Qaeda, Hizbullah siap diajak bertransaksi. Segenap perbedaan ini sebenarnya bersumber dari perbedaan pemahaman terhadap prinsip-prinsip jihad dalam Islam. Al-Qaeda menggunakan jihad dalam konteks penyerangan dan ekspansi (agressi dan destruktif), sementara Hizbullah membatasi jihad pada konteks perlawanan.
Dalam perkembangannya, perbedaan ini memunculkan banyak dampak yang sangat luas, baik pada tataran strategis, taktis, dan operasional jihad. Jika ideologi Hizbullah dapat melahirkan strategi jihad yang menghidupkan dimensi-dimensi jihad intelektual, sosial, politik, diplomatik, dan media yang konsisten dan disegani, maka ideologi jihad model Al-Qaeda berangsur-angsur merosot kepada dimensi militer yang menjauhkan partisipasi sosial di dalamnya (yang malah acapkali menguntungkan gerakan imperialisme Barat itu sendiri) di saat Al-Qaeda menjalankan politik sektarian di tubuh ummat Islam.
Berdasarkan pernyataan sikap Hizbullah, pada tanggal 16 Februari 1985, ditegaskan bahwa, “Hizbullah akan mematuhi perintah pemimpin yang bijaksana dan menjunjung tinggi keadilan dalam bentuk Wilayatul Faqih dibawah pimpinan Ruhullah Ayatullah Khomeini, sang pencetus lahirnya Revolusi Islam dan pelopor kebangkitan Islam”.
Para petinggi Hizbullah menyatakan bahwa hubungan kelompoknya dengan Iran berawal dari pemahaman yang sama, yaitu Islam Syi’ah. Mereka menjadikan para pemimpin Syi’ah di Iran sebagai rujukan dalam masalah agama dan politik. Namun setelah wafatnya Ayyatullah Khomeini, muncul banyak pendapat yang menolak sistem kepemimpinan ala Khomeini. Hal ini membuka kesempatan untuk berdiskusi lebih tajam dalam mengambil setiap kebijakan.
Sekalipun demikian, Hizbullah tetap menjadikan Iran sebagai kiblat politik dan budaya. Maka wajar apabila Hizbullah lalu mendapatkan sokongan materi dari Iran, disamping bantuan lain yang didapat dari iuran anggota.
Program utama Hizbullah adalah program kesatuan Islam dan menyatukan Sunni dan Syi’ah dalam satu kesatuan, merontokkan konflik sektarian dan membawa mereka pada iklim diskusi, dialog, baik secara ilmiah maupun fiqhiyyah. Karena, musuh mempunyai segala cara untuk merusak keharmonisan Islam di Libanon dan bahkan isu sektarian adalah senjata utama musuh.
Persatuan antara pengikut mazhab Islam dengan menguatkan persaudaraan yang berlandaskan Al-Qur’an dengan melawan musuh bersama, itulah juga yang menjadi prioritas Hizbullah. Tidak menoleransi sesuatu yang bisa memicu perselisihan dan perpecahan disertai upaya untuk menyelesaikan jika hal itu memang terjadi, serta memastikan terwujudnya kebebasan penganut setiap aliran untuk menerapkan pemahaman mereka di daerah masing-masing di bawah naungan Negara Islam yang satu.
Keinginan Hizbullah sangat keras dalam penentangannya terhadap dunia Barat dan Zionis Israel. Hizbullah ingin menyelamatkan Libanon dari mengekor kepada Barat atau Timur, mengusir penjajahan Zionis dari tanah Libanon secara total dan menegakkan sistem pemerintahan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan pilihan dan kebebasannya. Terbukti bahwa Hizbullah sangat serius dalam melindungi Libonon hingga cengkraman Israel di Libanon Selatan selama 22 tahun pun berakhir berkat perlawanan Syi’ah-Hizbullah, tepatnya pada tanggal 25 Mei 2000.
Pada tahun 2006, Hizbullah lebih dikenal lagi atas kemenangan kelompok ini mengusir keberadaan Israel di Negara Libanon. Demikianlah, bersamaan dengan itu, mencuatlah sebuah nama pemimpin Hizbullah yaitu Sayyid Hasan Nashrallah. Keberanian dan semangat setiap melakukan pidato di mimbar-mimbar sangat mempengaruhi pengikut Hizbullah dan juga orang-orang yang tidak tergabung dalam Hizbullah. Gaya berbicara dan penyampaian yang selalu berkobar-kobar adalah ciri khas pemimpin Hizbullah tersebut.
Pada saat salah satu intelijen Hizbullah yang bernama Imad Mugniyah menjadi syuhada dalam ledakan bom mobil di Damaskus, Suriah, di tengah-tengah pemukiman penduduk, banyak yang tidak mengenal seorang intelijen Hizbullah ini, sehingga pada saat kesyahidannya, dunia tidak terlalu memberitakannya.
Selama 20 tahun Badan intelijen Amerika Serikat sendiri sulit untuk melacak keberadaan intelijen Hizbullah tersebut. Pada saat hari memperingati ke-syahid-an Imad Mughniyah 14 Februari 2008, Sayyid Hasan Nashrallah menyampaikan pidato yang sungguh menambah semangat juang dan perlawanan para pejuang Hizbullah khususnya dan rakyat Libanon umumnya. Pidato tersebut berbunyi:
“Hari ini, mereka telah meneror Imad Mughniyah dan mengira bahwa dengan pembunuhan atasnya mereka dapat menekan dan meruntuhkan semangat kami. Maka, ketahuilah bahwa perang ini masih terus berlangsung, sebab gencatan senjata sampai saat ini belum pernah diumumkan. Perang ini masih berlangsung dari sisi materi, keamanan dan militer, serta masih akan diteruskan oleh semua Negara yang membantu Israel dalam perang musim panas 2006 lalu. Dunia harus tahu bahwa dibawah kepemimpinan saya, kami siap untuk menghancurkan Israel”.
Kemudian Nashrallah melanjutkan, “Wahai Zionis, jika kalian menginginkan perang ini menjadi perang terbuka dan luas, kami siap. Saat itu saya memberikan janji kemenangan pada kaum mukmin, karena saya mempercayai mereka, perjuangan mereka dan rakyat Libanon. Secara ringkas saya katakan bahwa meski keinginan mereka yang mengundang angkatan bersenjata untuk memerangi Libanon dan Suriah, sedang mereka tidak mampu berperang dan mereka hanya bisa melakukan adu domba sektarian. Maka saya katakan bahwa Libanon akan tetap kokoh. Libanon akan tetap menjadi sebuah Negara bersatu. Kita tujukan suara kita kepada pembunuh dan musuh bahwa perlawanan akan terus kita lanjutkan sampai akhir kemenangan.”
Nama Sayyid Hasan Nashrallah tiba-tiba mendunia ketika konflik militer terbuka antara Zionis Israel dan Hizbullah selama 34 hari di Libanon itu. Sebelumnya, namanya hanya terekspos samar-samar karena Amerika dan Israel menempatkannya sebagai salah satu tokoh paling berbahaya di Timur Tengah. Nashrallah memang menantang, dialah orang pertama di dunia Arab yang mampu mengembalikan kehormatan Arab setelah dipermalukan berulangkali oleh Israel, memberikan kemenangan setelah kekalahan dan memberikan kekuatan pada bangsa yang sekian lama merasa tak berdaya.
Berbeda dari para pemimpin sekuler Arab terdahulu, Nashrallah lebih religius dan memiliki karakter serta kharisma yang berbeda. Dia memberikan bukti, bukan sekedar janji kosong politisi yang biasa menerapkan “Lain kata, lain pula perbuatan”. Keberhasilannya mengusir penjajahan Israel di wilayah Libanon Selatan, menjadikan Nashrallah sebagai figur yang disegani kawan dan lawan. Tak Cuma memangkas dunia Arab dari bayang-bayang masa lalu menyakitkan, Nashrallah juga mempermalukan para pemimpin Arab saat itu, yang semula mengecamnya karena dianggap ngawur karena memicu perang melawan Israel pada 12 Juli 2006 yang ternyata memberikan kemenangan politik dan militer.
Hampir seluruh rezim Arab saat ini, seperti Mesir, Jordania dan Arab Saud, adalah sekutu dekat Amerika. Ketika itu tiga generasi bangsa Arab harus menelan rasa sakit karena dipermalukan gabungan kekuatan Israel dan Barat. Lima kali perang Arab terbesar yang terjadi: 1948, 1956, 1967, 1973, dan 1982, semua berakhir dengan kekalahan Arab.
Tubuh Nashrallah tidak terlalu tinggi, wajahnya agak gemuk dengan raut kekanakan di balik janggut tebalnya. Meski penampilannya tak terlalu mengesankan, tapi dia terkenal sebagai ahli pidato yang mampu menggugah massa. Pidato-pidatonya yang menguliti politik dunia Arab dan strategi Hizbullah lebih bersifat analitis ketimbang retorika tanpa makna. Ciri khas lainnya adalah ia jarang mengucapkan janji yang tak bisa dipenuhinya. Ketika Nashrallah mengatakan kepada Rakyat Libanon: “Aku adalah keinginanmu, aku adalah suara hatimu dan aku adalah perlawananmu”. Nashrallah telah menggabungkan kerendahan hati sekaligus tanggung jawab untuk melaksanakan tugas.
Sebagai pemimpin, Sayyid Hasan Nashrallah memiliki kekerasan hati dan ketabahan yang sulit ditiru. Ini ditunjukkannya ketika putra tertuanya yang bernama Hadi terbunuh pada tahun 1997. Hadi ikut ambil bagian dalam kelompok perlawanan Islam (sayap bersenjata Hizbullah) melawan tentara pendudukan Israel. Militer Israel menyandera jenazah Hadi yang pada saat itu masih berusia 18 tahun dan dia putra kesayangan Nashrallah. Tapi di depan pengikutnya, Nashrallah bersikap biasa dan tak mengubah jadwal rutinnya. Nashrallah berbicara di depan para pengikut Hizbullah pada saat merayakan ulang tahun Hizbullah:
“Kita bangga saat putra-putra kita berada di garis terdepan dan berdiri dengan kepala tegak ketika mereka menjadi syuhada”.
Peristiwa kematian putranya dan sikapnya menolak bernegosiasi dengan Israel untuk mendapatkan jenazah putranya kembali menorehkan nama Nashrallah di hati rakyat Libanon, termasuk dari kalangan Kristen dan Sunni. Kata Nicholas Noe, pengamat Hizbullah dan editor Mideasetwire.com yang bebasis di Beirut: “Saat itu separuh Libanon menangis”. Masyarakat Libanon lebih kagum lagi ketika pada Mei 2000 setelah pendudukan, Israel akhirnya keluar dari Lebanon Selatan.
Dalam spektrum politik Timur tengah, Hizbullah kerap dilihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Depertemen Luar Negeri AS telah memasukkan Hizbullah dalam daftar teroris yang harus dilenyapkan. Apapun pendapat Negara Barat, semuanya sepakat bahwa mereka tak bisa lagi meremehkan Sayyid Hasan Nashrallah. Dialah otak yang telah mengubah Hizbullah dari sekedar gerilyawan bereputasi biasa menjadi organisasi tangguh yang ditakuti di medan tempur dan di hormati di medan politik Libanon.
Majalah Newsweek tak kurang menyebut Nashrallah sebagai figur paling kharismatik di dunia Islam dan boleh jadi paling berbahaya. Meski hanya mengenakan jubah ulama Syi’ah kelas biasa, Nashrallah sudah masuk dalam kategori politisi kelas dunia, karena kelihaian politik dan militernya yang sulit ditandingi siapa pun.
Dunia Barat dan sekutunya seperti Zionis Israel telah berupaya keras dalam mempengaruhi politik di Timur Tengah. Segala cara dan tindakan yang harus ditempuhnya untuk membuat Timur Tengah tunduk dalam segala aspek politik dan ekonomi. Dari awal dinasti Syah Reza Pahlevi yang merupakan “Boneka Barat” timbul sebuah revolusi yang dilakukan oleh seorang ulama tua AYATULLAH KHOMEINI, dari situlah melahirkan perlawanan-perlawanan terhadap dunia Barat yang menjadi musuh Islam. Tidak disangkal lagi bahwa Hizbullah adalah anak dari revolusi yang dilakukan oleh Ayatullah Khomeini di Iran.
Banyak yang belum terlalu mengenal apa dan siapa Hizbullah dan Sayyid Hasan Nashrallah, sehingga Dunia hanya mengetahuinya dari buku-buku yang berpihak pada dunia Barat. Kemudian muncullah sebuah anggapan bahwa Hizbullah adalah gerakan Islam radikal seperti halnya Al-Qaeda (di mana Al-Qaeda ini belakangan seringkali beroperasi sebagai mitra Amerika) dengan melakukan politik sektarian.
Penulis: Sulaiman Djaya
Editor: Nur Aisyah Ramadhani
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar